PERBATASAN SEBAGAI BERANDA DEPAN
Heru Susetyo
Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan Peneliti Daerah Perbatasan
Menarik membaca liputan Koran Jakarta (18/4 – 2013) “Wilayah Perbatasan Butuh Sentuhan Otonomi Secara Nyata”. Dimana disebutkan bahwa daerah perbatasan di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia (negara bagian Serawak) masih mengalami ketimpangan pembangunan dibandingkan dengan negeri tetangga. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan aktifitas ekonomi masih terengah-engah. Jalan paralel di sepanjang perbatasan belum lagi dibangun. Akibatnya terjadi perbedaan kesejahteraan dengan negeri tetangga.
Ketimpangan ekonomi ini membuat banyak penduduk di daerah perbatasan mengadu nasib ke Serawak, Malaysia. Apalagi, begitu mudah bagi mereka untuk menyeberang ke dusun tetangga. Panjang perbatasan Kalimantan (Kalbar dan Kaltim/ Kaltara) dengan Malaysia (di Serawak dan Sabah) begitu panjang. Sementara hanya tersedia beberapa pintu perbatasan resmi saja dan ratusan pintu perbatasan tradisional yang tak dijaga.
Secara etnis, bahasa dan budaya penduduk perbatasan relatif sama dengan jirannya di Malaysia. Hanya fasilitas, infrastruktur dan tingkat kesejahteraan yang berbeda. Maka, mereka berdagang, berobat, sekolah dan mengadu nasib di Malaysia. Memang tidak terjadi eksodus besar-besaran ke Serawak Malaysia, namun jumlah yang menyeberang cukup signifikan. Fenomena mana turut menjadi perhatian insan film dengan lahirnya film “Tanah Surga Katanya’ pada Agustus 2012 yang diproduser-i oleh Deddy Mizwar dan berkisah tentang perbedaan tingkat kesejahteraan di Kalimantan dan Serawak-Malaysia.
Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pulau Sipadan dan Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice pada Desember 2002) dan blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Juga, dengan terjadinya beberapa persoalan krusial seperti buruh migran tak terdokumentasi (undocumented migrant workers), pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan (smuggling) dan human trafficking, ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan di wilayah perbatasan.
Maka, amat signifikan untuk menjadikan semua daerah perbatasan di Indonesia, tak hanya di Entikong Kalbar, sebagai beranda depan (front-yard) dan bukannya sebagai halaman belakang (backyard). Amat penting untuk menggesakan pembangunan di sepanjang perbatasan darat maupun di pulau-pulau terluar Indonesia.
Kompleksitas Perbatasan
Negara Indonesia berbatasan darat dengan tiga Negara di tiga pulau dan empat propinsi. Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur berbatasan darat dengan Malaysia di Negara bagian Serawak dan Sabah (sepanjang 2004 km). Indonesia-pun memiliki perbatasan laut yang sangat luas dan panjang apakah di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, Samudera Hindia, Laut Sulawesi, Laut Timor, Laut Banda-Kepulauan Arafuru, perairan Maluku Utara dan perairan utara Papua-Papua Barat, dan sebagainya.
Penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan mengalami permasalahan kehidupan yang kompleks. Disamping secara fisik mereka mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari Ibukota negara di Jakarta, tidak jarang mereka-pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dan ibukota propinsi mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berjarak amat dekat dengan negara tetangga. Bahkan, memiliki bahasa, budaya dan ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan penduduk di negeri tetangga. Namun kesamaan ciri-ciri fisik ini tidak menjamin ada kesamaan tingkat kesejahteraan dan strata ekonomi antara warga dua negara yang berbatasan. Tidak sedikit WNI di perbatasan hidup serba kekurangan dengan akses terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi yang sulit dan terbatas jumlanya.
Sebagai contoh, Desa Suruh Tembawang di Kabupaten Sanggau amat terisolir dan sulit dijangkau dari kota kecamatan Entikong. Hanya bisa didatangi lewat sungai dengan lama perjalanan 6 jam dan sewa perahu yang mahal (Rp 1.5 juta sekali jalan).
Kemudian, di daerah perbatasan hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari Malaysia, masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjual beli produk asal Malaysia termasuk gula pasir sampai dengan gas elpiji. Hadir pula ketimpangan dalam pola perniagaan dan jual beli antara Serawak dan Entikong. Warga Indonesia di perbatasan bisa masuk dan belanja ke Tebedu tanpa passport dengan menggunakan mata uang Rupiah maupun Ringgit Malaysia, sementara warga Malaysia hanya bisa masuk sejauh 200 meter ke Entikong dan tak bias berbelanja pula.
Masalah yang tak jauh berbeda ada di Papua. Panjang perbatasan RI-PNG dari utara (Kota Jayapura sampai dengan Selatan Merauke) ± 770 Km. Ditandai dengan 52 tugu/ pilar batas dimana 24 tugu menjadi tanggungjawab pemerintah RI dan 28 tugu pemeliharaan menjadi tanggungjawab pemerintah PNG.
Perbatasan di Papua menjadi rawan karena pergolakan politik internal yang tidak stabil di daerah perbatasan. Masih banyaknya pelintas batas illegal, banyaknya permasalahan hak ulayat masyarakat adat, penyelundupan senjata, amunisi dan narkoba. Juga, adanya kelompok sipil bersenjata di tengah-tengah daerah hutan lebat sepanjang perbatasan yang menyulitkan pemantauan oleh para penjaga perbatasan.
Masalah lain adalah terbatasnya aktifitas ekonomi seperti pasar di perbatasan. Belum cukupnya infrastruktur dan sarana transportasi, permukiman dan jaringan irigasi yang memadai untuk masyarakat di perbatasan. Sampai tahun 2013 ini hanya ada empat kabupaten/ kota yang terhubungkan dengan jalan darat (Kota Jayapura, Kab, Jayapura, Kab. Keerom dan Kab. Sarmi), selebihnya harus menggunakan transportasi udara yang amat mahal . Biaya pesawat dari Jakarta ke Jayapura pp juga amat mahal, apalagi di musim liburan, natal dan lebaran.
Masalah pendidikan masih menjadi masalah yang amat serius di Papua. Banyak guru yang tidak hadir mengajar dan murid yang tidak hadir; karena alasan keamanan dan kekurangan guru. Sehingga sekolah sering libur.
Kondisi tak jauh berbeda ada di NTT. Propinsi ini berbatasan fisik dengan Negara Timor Leste di dua wilayah terpisah, masing-masing di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan yang berbatasan dengan bagian barat Timor Leste, dan Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan dengan daerah enclave Distrik Oecussi-Ambeno.
Sampai saat ini, 13 tahun berlalu sejak Timor Leste berpisah dengan NKRI, masalah sosial politik dan keamanan masih terus menyertai. Salah satu masalah krusial adalah pengungsi dari Timor Leste yang memilih bergabung dengan NKRI pascajajak pendapat 1999. Banyak pengungsi masih menghuni hunian sederhana di Kabupaten Belu dan di beberapa wilayah yang lain di NTT. Padahal kondisi kehidupan masyarakat Belu sendiri tidak lebih baik dibandingkan dengan para pengungsi. Sejatinya para pengungsi rata-rata berasal dari latar belakang sosial dan kultural yang sama dengan penduduk di kabupaten Belu, hanya saja mereka tinggal di wilayah Indonesia bagian Timor Leste ketika Jajak Pendapat 1999 terjadi.
Kesejahteraan Penduduk di Perbatasan
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI (2011) persentase penduduk buta huruf (usia 15 – 44 tahun) di tiga propinsi yang berbatasan darat dengan negara lain adalah cukup memprihatinkan. Di Kalimantan Barat persentase-nya adalah 4.24%. Di Nusa Tenggara Timur adalah 5.81% dan di Papua adalah 34.83%. Rata-rata nasional Indonesia adalah 2.30% pada tahun 2011.
Kemudian, skor Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di tiga daerah yang berbatasan darat dengan negeri jiran juga masih di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2012 Skor Kalbar adalah 69.15, NTT adalah 67.26 dan Papua adalah 64.94. Sementara rata-rata nasional Indonesia adalah 72.27 (Data BPS 2012).
Sementara itu, persentase penduduk miskin di perdesaan pada tahun 2011 (Data Kemenkes, 2011) menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin di Kalbar berjumlah 9.6%, di NTT 23.4% dan di Papua adalah 41.6%. Sementara rata-rata nasional adalah 15.7%.
Beranda Depan
Mengelola perbatasan bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan keamanan tradisional (kemiliteran) saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat).
Kasus-kasus yang terjadi di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan seperti bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi, harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya. Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional (non traditional security) dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security (keamanan manusia) sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994.
Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan ,negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan daerah yang berbatasan secara fisik maupun pulau-pulau terluar sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. Otonomi daerah dan pemekaran daerah, seperti lahirnya Propinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang berbatasan langsung dengan Malaysia patut disambut baik. Namun harus diiringi dengan pendekatan pembangunan yang menyejahterakan dan memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat di daerah-daerah terluar Indonesia.
Leave a Reply