SOLUSI INDONESIA UNTUK ROHINGYA
Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor Human Rights & Peace Studies
Mahidol University, Bangkok – Thailand
Menarik membaca berita di Pikiran Rakyat 23 April 2013 “Myanmar Melanggar HAM” yang mengulas laporan dari Human Rights Watch (HRW) tentang negara Myanmar yang telah mengobarkan kampanye pembersihan etnis Rohingya, utamanya pada tahun 2012. Dengan bukti adanya kuburan massal dan adanya upaya pengusiran secara paksa yang menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi.
Laporan HRW tersebut sejatinya bukanlah laporan pertama yang menyajikan penderitaan, kedukaan dan keterusiran orang Rohingya dari tanah airnya sendiri. Karena kedukaan Rohingya adalah salah satu kejahatan kemanusiaan yang sangat serius dan berskala internasional di abad ini. Berpuluh negara dan lembaga telah menyuarakan kepedulian. Namun toh kekerasan terhadap etnis Rohingya masih terjadi. Sampai kini.
Merujuk pada sejarah, kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity) dan genocide (pembantaian atas motif SARA) terhadap etnis Rohingya sudah berlangsung sejak tahun 1940-an. Kemudian berlanjut terus pada tahun 1980-an, akhir tahun 2000-an dan terus berlanjut hingga kini. Pelakunya adalah perseorangan ataupun kelompok yang merasa mendapatkan justifikasi dari negara maupun inisiatif warga sipil Myanmar Non Rohingya yang berbeda etnis dan agama dan melakukan pembersihan etnis (ethnocide) karena kebencian terhadap orang Rohingya (xenophobia).
Dan Indonesia tidak bisa berlepas diri terhadap masalah Rohingya. Sama halnya dengan negeri jiran seperti Malaysia dan Thailand. Karena, secara kolektif selaku negara ASEAN terdekat dari Myanmar, ketiganya harus turut menanggung kedukaan warga Rohingya. Tidak sedikit warga Rohingya yang terusir dari negerinya dan memilih jalan menjadi ‘manusia perahu’ (boat people). Berlayar ke selatan mencari suaka ke Australia atau tempat lain yang mau menerima mereka. Alih-alih sampai ke Australia, sebagian dari mereka kelaparan dan tewas di tengah lautan dan sebagiannya terdampar ke negeri jiran Thailand, Malaysia ataupun Indonesia.
Sampai April 2013 ini, sudah beratus-ratus warga Rohingya terdampar di Indonesia, utamanya di sekitar Propinsi Aceh dan Sumatera Utara yang kemudian menjadi tahanan imigrasi atau ditampung oleh Dinas Sosial. Sebagian lagi hadir secara tiba-tiba di tengah-tengah masyarakat Indonesia, apakah di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur sampai ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka adalah korban penyelundupan manusia (human smuggling) ketika tengah mencari jalan untuk meneruskan hidup sebagai pencari suaka di negeri impian.
Masalah Rohingya
Jumlah etnis Rohingya ini seluruh dunia diperkirakan berjumlah sekitar 1.5 juta jiwa dimana dua pertiganya tinggal di Myanmar, utamanya di negara bagian Northern Rakhine (Arakan). Selebihnya tersebar di Bangladesh, India, Pakistan, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Australia dan di seluruh dunia. Jumlah tersebut terus berkurang karena pembantaian, pengusiran, kelaparan dan pengungsian yang terus terjadi setiap waktu.
Mengapa orang Rohingya mengalami diskriminasi di negerinya sendiri? Sejarah mengungkapkan bahwa diskriminasi tersebut dilakukan oleh Junta Militer Myanmar utamanya sejak tahun 1960-an. Puncaknya adalah ketika dihapuskannya etnis Rohingya dari Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982. Undang-Undang Kewarganegaraan ini mencatat 135 etnis yang diakui dan secara otomatis menjadi warga negara Myanmar dan etnis Rohingya tidak termasuk kedalam 135 etnis tersebut. Akibat dari penghapusan ini, etnis Rohingya tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara Myanmar. Yang lebih menyedihkan adalah perlakuan diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh warga negara Myanmar yang pro pemerintah, yang mempunyai keyakinan bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar.
Dasar daripada diskriminasi terhadap Rohingya adalah karena mereka dianggap berbeda dari etnis lainnya yang berada di Myanmar. Secara fisik, bahasa, agama maupun budaya. Secara fisik, etnis Rohingya ini berkulit lebih gelap lebih mirip dengan orang Bengali di Bangladesh. Pemerintah Myanmar berkeyakinan bahwa etnis Rohingya itu sebenarnya berdarah Bengali karena tempat tinggal mereka berbatasan langsung dengan Bangladesh. Secara agama dan budaya, hampir seluruh orang Rohingya adalah muslim dan menjalankan budaya sesuai dengan tradisi Islam.
Padahal, sejarah juga mencatat bahwa warga Rohingya ini sudah menjadi bagian dari Myanmar sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1947. Myanmar pernah memiliki anggota parlemen dan menteri dari etnis Rohingya sebelum tahun 1960. Juga bahasa Rohingya pernah diakui sebagai salah satu bahasa yang dapat mengudara di Radio Nasional Myanmar seelum tahun 1960.
Tahun 2012 dan 2013 ditandai dengan merebaknya kembali kekerasan yang menimpa etnis Rohingya di Arakan. Bahkan, kemudian menyebar ke wilayah lain dan menimpa tidak hanya muslim Rohingya namun juga muslim Myanmar lain non Rohingya. Pada bulan Mei 2012, karena isu pemerkosaan yang dilakukan individual Rohingya terhadap wanita Myanmar kemudian berkembang menjadi pembantaian etnis, pembakaran properti dan pengusiran besar-besaran. Ribuan etnis Rohingya menyelamatkan diri dengan mengarungi laut tanpa tahu tujuan akhir dan kehidupan selanjutnya di tanah seberang.
Rohingya di Indonesia
Heri Aryanto, Direktur Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA), LSM Indonesia yang berkhidmat untuk kampanye dan advokasi kemanusiaan bagi warga Rohingya, mencatat bahwa persebaran kedatangan Rohingya di Indonesia memang semuanya tidak langsung melalui Myanmar menuju Indonesia. Yaitu pertama, Rohingya sampai di Indonesia melalui Malaysia (setelah bertahun-tahun menetap di Malaysia), dimana alasannya hijrah ke Indonesia karena di Malaysia tidak bisa mendapatkan pendidikan dan berharap mendapatkan penghidupan yang lebih baik serta berharap bisa menjadi WNI dengan jalan menikahi wanita Indonesia. Kedua, Perahu Rohingya terdampar di Indonesia dari Myanmar karena tujuan sebenarnya adalah negara Malaysia atau Australia (berlayar dengan cara tradisional). Ketiga, Rohingya dibohongi oleh Tekong (penyelundup manusia/ human smuggler) yang menjanjikan akan memberangkatkan ke Australia (dari Malaysia atau Myanmar).
Dalam persebaran kedatangan di Indonesia, Rohingya terdampar di beberapa wilayah di Indonesia baik karena ditangkap maupun sengaja menyerahkan diri kepada pihak Imigrasi Indonesia yang wilayahnya dekat dengan Malaysia atau Myanmar, yaitu antara lain di Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Batam (Kepulauan Riau), dan ada juga yang ditemukan dan ditangkap di Kupang – NTT, Serang- Banten, dan Banyuwangi – Jawa Timur. Kondisi Rohingya yang kelaparan memang membuat mereka akhirnya sengaja menyerahkan diri ke pihak imigrasi dengan harapan bisa mendapatkan makanan dari pihak Imigrasi Indonesia.
Propinsi Aceh merupakan daerah utama tempat warga Rohingya biasa berlabuh. Karena secara geografis wilayahnya paling dekat dengan Myanmar. Menurut data PIARA (Maret 2013) daerah-daerah tempat kehadiran Rohingya di Aceh yaitu antara lain di Pulau Sabang, Louksemawe, dan Idi Rayeuk, Aceh Timur.
Menurut pengakuan seorang pengungsi di penampungan Lhokseumawe pada Maret 2013, mereka menempuh perjalanan laut yang berbahaya dari Myanmar selama 23 hari dengan perahu “butut” dan makanan yg tidak mencukupi. Satu perahu “butut” tersebut dinaiki oleh 121 orang. Dan akhirnya mereka pun banyak yang meninggal di tengah laut. Tidak hanya itu, mereka juga ditembaki ketika mereka melewati perairan Thailand. Banyak yang selamat, tapi 10 orang tewas tertembak. Mereka pun “digiring” ke sebuah pulau yang tidak berpenghuni, mesin-mesin boat dicopot, makanan dan minuman diambil, dan akhirnya dilepas kembali ke tengah laut dengan minuman dan makanan yang sangat sedikit. Perjalanan laut yg berbahaya tersebut membuat mereka akhirnya sampai di tengah perairan Indonesia.
Solusi Indonesia untuk Rohingya
Ulfah Yanuar Santrie (2013) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negeri yang baik dalam menerima pengungsi Rohingya. Dibuktikan dengan ditampungnya etnis ini di rumah detensi yang disiapkan di Indonesia. Walau lama mereka tinggal di rumah detensi imigrasi adalah juga dibatasi. Indonesia hanya memberikan batas waktu maksimal selama sepuluh tahun. Setelah itu pemerintah Indonesia tidak akan memberikan perlindungan lagi untuk warga negara asing. Rumah detensi imigrasi biasanya digunakan tempat berlindung para pencari suaka untuk menunggu status yang resmi dari UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees). Di sisi lain, proses untuk mendapatkan status yang legal dari UNHCR membutuhkan waktu yang cukup lama karena proses yang ditempuh oleh UNHCR-pun melalui berbagai tahapan.
Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki regulasi nasional yang jelas mengenai penanganan pengungsi. Indonesia juga bukan termasuk negara yang meratifikasi Konvensi Vienna tahun 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokolnya tahun 1967. Sehingga Indonesia tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk mengambil tindakan internasional terhadap Imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia. Kewajiban Indonesia hanya kewajiban minimal atas dasar kemanusiaan dan penghormatan terhadap hukum internasional. Yaitu tidak mengusir, memberikan penampungan dan bantuan sementara serta mefasilitasi pem-proses-an oleh UNHCR
Sedihnya, tdak banyak yang dapat dilakukan masyarakat internasional dalam menangani masalah Rohingya. Bagi ASEAN, prinsip non-intervention yang dianut ASEAN membatasi negara-negara anggotanyha untuk mencampuri permasalahan Myanmar. Langkah PBB, di lain pihak, sudah lumayan proaktif. Dengan mengirimkan utusan ke Arakan. Namun, sampai kini-pun PBB belum menjatuhkan sanksi yang keras kepada Myanmar ataupun mengirimkan misi pemeliharaan perdamaian dan penghentian kekerasan.
Maka, tanpa perlu mempertanyakan peran ASEAN dan PBB, Indonesia sepatutnya dapat mengambil prakarsa dan berperan aktif dalam menyelesaikan masalah Rohingya ini dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : (1) Tidak mengusir orang Rohingya kembali ke lautan atau memulangkan paksa mereka ke Myanmar karena alasan keamanan dan keselamatan mereka; (2) Memberikan bantuan dan penampungan sementara sekiranya ada warga Rohingya yang terdampar ke tanah Indonesia sebagai manusia perahu ataupun yang masuk ke Indonesia dengan cara lain; (3) memfasilitasi pemproses-an status warga Rohingya oleh UNHCR atau lembaga-lembaga peduli pengungsi/ pencari suaka lainnya seperti IOM (International Organization for Migration); (4) Membuat undang-undang yang jelas yang mengatur penanganan pencari suaka dan pengungsi; (5) Negara RI harus segera meratifikasi Konvensi Internasional 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokolnya tahun 1967; (6) Negara RI harus berperan secara aktif dalam penyelesaian akar masalah Rohingya di Arakan-Myanmar melalui mekanisme bilateral maupun multilateral (ASEAN, OKI, PBB dan lain-lain);(7) semua pihak, termasuk masyarakat Indonesia harus turut berperan aktif dalam mengkampanyekan perdamaian di Myanmar dan penghentian kekerasan terhadap etnis Rohingya. Karena, sejatinya, isu Rohingya bukanlah isu agama tertentu, namun adalah isu universal tentang penistaan hak asasi manusia terhadap sekelompok etnis atas dasar SARA oleh junta militer dan sebagian masyarakat Myanmar.
Salaya, Nakorn Pathom 30 April 2013
Leave a Reply