TIGA TAHUN TRAGEDI MAVI MARMARA – FREEDOM FLOTILLA
By : Heru Susetyo
Tim Kuasa Hukum Korban Indonesia di MV Mavi Marmara – Freedom Flotilla
dari PAHAM Indonesia
Tiga tahun silam, di pekan terakhir bulan Mei 2010 pelabuhan Istanbul, Turki tampak sibuk. Aktifis kemanusiaan dari IHH (Insani Yardim Vakfi) lembaga kemanusian internasional Turki, tengah mengorganisir relawan dan bala bantuan yang akan dimasukkan ke dalam kapal-kapal yang tergabung dalam misi Freedom Flotilla(Kafilah Kebebasan) menuju Jalur Gaza (Gaza Strip). Termasuk di dalamnya adalah dua belas relawan kemanusiaan dari Indonesia.
Kesibukan yang sama terjadi di Eropa. Karena, misi Freedom Flotilla adalah kemitraan dari enam organisasi/ gerakan pro kemanusiaan di Gaza, masing-masing adalah IHH Turki, European Campaign to End the Siege of Gaza, The Greek Ship to Gaza Campaign, The Swedish Ship to Gaza, the Free Gaza Movement dan International Committee to End the Siege of Gaza.
Berhimpunnya keenam organisasi internasional lintas negara, etnis, bangsa, dan agama ini karena kesamaan tujuan. Ingin memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza, Palestina , yang sejak tahun 2006 diblokade oleh Israel di darat, laut maupun udara pasca kemenangan HAMAS melalui Pemilu yang berlangsung demokratis. Diperburuk lagi dengan serangan brutal Israel selama 22 hari (27 Desember 2008 – 18 Januari 2009 atau sering disebut Operation Cast Lead) yang menewaskan 1417 warga Palestina dan meluluhlantakkan banyak bangunan di Gaza.
Mengapa melalui laut? Karena cara lain sudah tak mungkin. Pada tahun tersebut, pintu darat melalui Gaza hanya ada di tiga pos perbatasan dengan Israel dan satu pintu melalui Mesir (Rafah). Pintu Rafah sendiri sering ditutup oleh Mesir karena tekanan kuat dari Israel disamping kekhawatiran dari otoritas Mesir sendiri akan meluasnya eskalasi konflik. Pintu udara? Lebih tidak mungkin lagi. Ruang udara Gaza dikontrol ketat oleh Israel disamping tak ada bandara yang bisa didarati di Gaza. Jalur Gaza pernah punya bandara di selatan dekat perbatasan Rafah, bernama Yasser Arafat International Airport, namun sejak 2001 tak lagi beroperasi karena hancur dibombardir Israel.
Maka memasuki Gaza melalui laut adalah pilihan terbaik untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan. Yang bukan juga tanpa resiko. Para relawan paham sekali resiko tersebut. Otoritas Palestina di jalur Gaza hanya mempunyai kontrol sejauh tiga kilometer saja dari garis pantai. Begitu juga para nelayan Gaza. Hanya dapat berlayar dalam radius tiga kilometer. Selebihnya dikuasai oleh patroli kapal-kapal Israel.
Berbekal motto “Palestine Our Route Humanitarian Aid Our Load” alias ‘Palestina adalah rute kami dan bantuan kemanusiaan adalah muatan kami.”, maka sembilan kapal yang tergabung dalam misi Freedom Flotilla berisikan sekitar 700 relawan kemanusiaan dari 37 negara ini membuang sauh dari Istanbul, Yunani dan Inggris di pekan keempat Mei 2010. Terdiri atas tiga kapal penumpang (MV Marmara, Sfendoni dan Challenger I) dan enam kapal barang (cargo). Muatan kapal-kapal cargo tersebut adalah sandang, pangan, obat-obatan, bahan-bahan bangunan, mainan anak-anak, generator listrik serta mesin dan perangkat elektronik yang dibutuhkan untuk keperluan pembangunan kembali Gaza.
Kapal-kapal tersebut sepakat bertemu (meeting point) di sebelah selatan Cyprus di lautan internasional pada 28 Mei 2010. Namun, karena kendala teknis, enam kapal saja yang akhirnya dapat bertemu di lokasi yang disepakati. Kemudian pada tangggal 30 Mei 2010 sore hari, armada Freedom Flotilla bergerak mengarah ke Gaza. Menjelang tengah malam, di hari yang sama, armada ini mulai dikuntit dan diancam tentara Israel. Ada empat kapal perang, dua kapal selam, tiga helikopter, dan 30 perahu zodiac tentara Israel yang mengepung armada warga sipil Freedom Flotilla yang tak bersenjata.
Cerita berikutnya sudah kita ketahui bersama. Di subuh hari 31 Mei 2010 ketika kapal-kapal Freedom Flotilla masih berada di laut internasional (72 mil laut dari garis pantai Gaza) dan arah perjalanan misi ini tidak menuju ke Gaza, sebaliknya tengah mengarah ke arah Gurun Sinai di Mesir, kapal penumpang terbesar yaitu MV Marmara yang berpenumpang 546 orang, tiba-tiba diserang tentara Israel dari helikopter maupun dari perahu zodiac. Sembilan orang, kesemuanya warga Turki (termasuk satu warga Turki warganegara AS, Furkan Dogan, usia 19 tahun) tewas di tempat dan 156 relawan lainnya luka-luka. 52 orang diantaranya menderita luka-luka yang amat serius. Termasuk yang terluka tembak adalah dua relawan Indonesia, masing-masing Surya Fachrizal dari Majalah Hidayatullah dan Okvianto dari KISPA (Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina).
Selanjutnya, enam kapal Freedom Flotilla berikut 700 relawan-nya digelandang ke pelabuhan Ashdod di Israel. Dari Ashdod mereka kemudian ditahan di penjara dan diintimidasi secara fisik maupun psikis. Mereka yang ditahan umumnya yang berasal dari negeri-negeri muslim dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Termasuk relawan dari Indonesia. Sebaliknya, relawan yang berasal dari negara ‘sekutu’ Israel, cenderung diperlakukan sedikit lebih baik. Walau tetap dianggap sebagai penyusup ilegal.
Disamping jatuhnya korban tewas dan luka-luka, kerugian lain yang dialami misi Flotilla ini adalah penyitaan dan penghancuran barang-barang pribadi para relawan, penyitaan pasport, serta penyitaan kapal dan barang-barang bantuan. Barang-barang mana seharusnya telah dinikmati oleh 1.5 juta jiwa penduduk Gaza sejak pertengahan tahun 2010.
Tiga Tahun Berlalu
Kini, tiga tahun telah berlalu sejak penyerangan keji tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kejahatan tersebut akan diadili di pengadilan internasional. Juga, banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab sampai kini.
Lembaga IHH Turki dalam laporannya selalu menanyakan : (1) mengapa Israel berani melanggar hukum maritim internasional di laut internasional?; (2) mengapa tentara Israel menyerang warga sipil tak bersenjata di atas kapal sipil yang ditumpangi pula oleh bayi dan orang berusia di atas 80 tahun?; (3) hukum mana yang memberikan kewenangan bagi Israel untuk memborgol, menyiksa dan menginterogasi serta menahan orang yang ditangkap di laut internasional?; (4) kapal MV Marmara berulangkali menyerukan penghentian serangan namun tak diabaikan oleh tentara Israel hingga korbanpun jatuh. Bagaimana tanggungjawab Israel? (5) bagaimana perilaku teror dan kejahatan tentara Israel tersebut dapat diadili?; (6) apabila seluruh negara mengikuti dan berperilaku seperti Israel, akan seperti apa wajah dunia ke depan?
Dalam perkembangannya, memang PBB tidak tinggal diam. Tim Pencari Fakta Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council Fact Finding Mission) telah melakukan penyelidikan terhadap kasus ini pada medio tahun 2010. Dan laporan hasil penyelidikan juga telah diselesaikan pada 22 September 2010.
Kesimpulan dari tim tersebut adalah serangan tentara Israel atas rombongan Freedom Flotilla adalah ‘brutal’, ‘disproportionate’ (tidak proporsional), melanggar hukum internasional, hak asasi manusia internasional, dan hukum humaniter internasional. Juga terdapat cukup bukti bahwa telah terjadi pembunuhan dengan sengaja (wilful killing), penganiayaan dan penyiksaan (humiliation and torture).
Namun, kendati kesimpulan Tim PBB telah jelas, Israel tetap melakukan kampanye hitam (black campaign) dengan mengatakan bahwa laporan tersebut adalah ‘biased’ dengan menyebut misi Freedom Flotilla adalah misi terorisme di mana para penumpangnya adalah para “teroris”.
Lebih lucu lagi, Israel melakukan pemutarbalikan fakta dan pembentukan opini publik demi keuntungan sepihak-nya. Sponsor utama Freedom Flotilla yaitu IHH, lembaga kemanusiaan Turki difitnah sebagai organisasi “teroris” yang menyebarkan kebencian dan kekerasan. Padahal, rekam jejak IHH selama ini adalah dikenal sebagai lembaga kemanusiaan yang membantu semua umat dan bangsa di lima benua yang menjadi korban bencana alam maupun bencana sosial, konflik dan peperangan.
Menuntut Keadilan Bagi Para Korban dan Keluarganya
Tiga tahun telah berlalu, namun tetap penghukuman secara internasional terhadap pelaku kejahatan tersebut belum terjadi. Para korban luka-luka pun tak pernah mendapat rehabilitasi dan kompensasi. Sampai kini. Padahal, membiarkan terjadinya kejahatan tanpa penghukuman terhadap pelakunya alias impunitas adalah hal terburuk yang pernah terjadi dalam penegakan hukum.
Maka, atas nama keadilan bagi para korban dan keluarganya, juga untuk tidak menimbulkan preseden buruk terhadap impunitas yang terjadi, upaya hukum harus dilakukan. Apalagi, telah cukup tersedia dasar hukum dari Misi Pencari Fakta PBB yang meyakini bahwa telah terjadi kejahatan dan pelanggaran HAM dalam penyerangan tersebut..
Para pengacara lintas negara dan lintas agama yang membela 700 korban dari 37 negara yang tergabung dalam Freedom Flotilla telah melakukan beberapa upaya untuk menyeret Israel ke hadapan hukum. Upaya tersebut dilakukan di tingkat nasional (di hadapan pengadilan masing-masing negara di mana warganegaranya menjadi korban) juga di tingkat internasional. Langkah di tingkat internasional adalah melalui International Criminal Court dan International Court of Justice. Keduanya berlokasi di Den Haag, Belanda. Pada 14 Oktober 2010 criminal complaint sudah diajukan ke ICC atas nama para korban penyerangan dan keluarganya. Complaint tersebut diperlengkapi pula dengan alat-alat bukti seperti keterangan saksi, pernyataan korban, video dan foto, laporan otopsi, laporan forensic, laporan ahli dan juga menyertakan laporan dari UN Fact Finding Mission .
Sayang, tak semua negara memiliki yurisdiksi yang bisa mengadili kejahatan tersebut di pengadilan dalam negerinya. Spanyol dan Belgia termasuk yang telah memulai investigasi kasus ini berlandaskan prinsip ‘universal jurisdiction.’
Beberapa negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan tersebut antara lain Turki, yang juga amat berkepentingan, karena, sembilan korban tewas dan mayoritas korban luka-luka adalah warga Turki. Namun, walau mereka memiliki kuasa mengadili, bukan persoalan mudah menyeret penjahat tentara Israel ke Turki.
Proses penyusunan tuntutan untuk perkara ini di Turki telah dilakukan pada 29 Mei 2012, dimana para tersangka pelakunya dikenakan dakwaan : willful killing, intentionally causing serious injury to body and or health, plundering, hijacking or seizing maritime, railway or air vechicles, intentionally causing damage to property, restriction of freedom of expression and instigating violent crime.
Kemudian kasus tersebut dibawa ke Pengadilan Istanbul (7th High Criminal Court) yang mendakwa empat petinggi komando Israel atas dasar bukti-bukti kuat bahwa keempatnya telah memberikan perintah untuk melaksanakan operasi tersebut. Mereka adalah Israeli Chief of General Gavriel Ashkenazi, Komandan Angkatan Laut Eliezer Marom, Direktur Intelijen Angkatan Udara Avishai Levi dan Kepala Direktorat Intelijen Angkatan Bersenjata Israel, Amos Yadlin.
Proses hearing telah dilakukan oleh pengadilan Istanbul pada 6, 7 dan 9 November 2012. Kemudian tanggal 21 Februari 2013 telah dijadwalkan untuk memanggil keempat petinggi Israel tersebut. Namun, seperti sudah diduga sebelumnya, Israel menolak menyerahkan keempat petinggi tersebut dan tidak mau mengakui yurisdiksi Pengadilan Istanbul atas kasus ini.
Selain menggunakan mekanisme nasional di negara masing-masing, korban dari negara Eropa menempuh mekanisme complaint di level regional. Dua mekanisme yang dikenal adalah melalui European Court of Justice yang bermarkas di Luxemburg yang memiliki yurisdiksi terhadap negara-negara yang menjadi anggota dari European Union dan European Court of Human Rights yang bermarkas di Strassbourg, Perancis yang memiliki yurisdiksi terhadap negara-negara yang menjadi anggota Council of Europe.
Secara faktual, banyak negara Eropa yang warganya terwakili sebagai korban dalam serangan Freedom Flotilla sehingga mereka memiliki kewenangan untuk mengajukan complaint terhadap kedua mekanisme regional tersebut. Masalahnya adalah, Israel bukan negara anggota dari European Unionwalaupun merupakan observer pada Council of Europe. Sebaliknya, Turki, selaku negara yang paling mengalami kerugian dalam serangan tersebut, adalah negara anggota dari Council of Europe.
Proses hukum yang sudah berjalan untuk kasus ini antara lain di Amerika Serikat (AS) untuk korban tewas Furkan Dogan (19 tahun) yang telah dirintis sejak April 2011. Furkan adalah warganegara AS keturunan Turki.
Proses lain berlangsung di Republik Afrika Selatan untuk korban Gadija Davids. Wanita ini termasuk relawan di kapal Mavi Marmara yang mengalami perlakuan yang tidak manusiawi (inhumane treatment) pascaserangan ke kapal tersebut. Ia diikat tangannya dengan kabel plastik, dipaksa duduk di bawah sengatan sinar matahari selama empat jam, ditahan secara paksa dan tak boleh menghubungi Konsulat Afrika Selatan di Israel.
Pada akhirnya, mekanisme pamungkas yang menjadi tumpuan adalah ICC alias International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) yang berlokasi di Den Haag, Belanda. Pengadilan internasional yang beroperasi sejak tahun 2002 berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 ini memiliki yurisdiksi atas Kejahatan HAM yang berat (most serious crimes) yang meliputi : (1) crime of genocide (2) crime against humanity (3) war crimes (4) crime of aggression.
Penyerangan terhadap Freedom Flotilla dapat memenuhi elemen Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) dan Kejahatan Perang (War Crimes). Juga, sebagian negara yang korbannya terwakili dalam misi tersebut adalah negara anggota dari Statuta Roma yang merupakan dasar hukum lahirnya ICC.
Hambatan dan Tantangan
Tersedia sejumlah kendala untuk memaksa Israel mempertanggungjawabkan kejahatannya ke hadapan hukum. Disamping kendala yurisdiksi hukum nasional, apabila pengadilan digelar di level nasional seperti Turki. Dimana Israel hampir tidak mungkin menyerahkan tentaranya untuk diadili di negara seperti Turki. Kendala juga terjadi di level internasional. Mengingat, Israel juga bukan negara anggota dari Statuta Roma. Maka, agak sulit juga menghadirkan para tersangka Israel ke Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag. Namun, di sisi lain, Israel adalah anggota dari Konvensi Jenewa 1949 (Geneva Convention) yang merupakan perjanjian internasional yang mengatur hukum humaniter (hukum HAM dalam peperangan) dan perlindungan terhadap pihak-pihak tertentu (non combatants) dalam konflik bersenjata.
Hambatan berikutnya adalah hambatan politik, mengingat hukum internasional tak sepenuhnya fair, adil dan imparsial, namun juga sangat ditentukan oleh kekuatan politik. Berlangsungnya pengadilan nasional, regional maupun internasional seperti ICC amat ditentukan dari kekuatan-kekuatan politik yang bermain. Utamanya di level Eropa dan Amerika dimana keputusan hukum dan politik terhadap masalah ini akan dilakukan. Dewan Keamanan PBB memiliki wewenang untuk mengajukan perkara ke ICC, namun di sisi lain mereka memiliki lima anggota tetap yang memiliki hak veto. Amat mungkin negara-negara yang memiliki hak veto tersebut mengajukan intervensi dan menjatuhkan veto mengingat hubungan khusus yang mereka miliki dengan negara Israel.
Peranan pemerintahan Barrack Obama dan Uni Eropa juga turut menentukan. Karena, selama ini AS dan Uni Eropa adalah bagian dari Quartet of Middle East yang berperan penting dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Maka, disamping proses politik yang berlangsung di PBB, berlanjut tidaknya proses hukum terhadap Israel di ranah internasional ini sedikit banyak ditentukan dari sikap dan kepentingan politik pemerintahan Obama dan Uni Eropa.
Tiga tahun telah berlalu. Haruskah keluarga dari 9 korban tewas, 52 korban luka berat (termasuk 2 korban luka tembak dari Indonesia dan seorang warga Turki, Ugur Suleyman Soylemez, yang koma hampir tiga tahun), serta para korban lainnya menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan keadilan? Membutuhkan lima belas tahun lebih seperti halnya penangkapan Jenderal Serbia Ratko Mladic jagal muslim Bosnia di perang Balkan 1992 – 1996? Atau malah tak pernah ditangkap sama sekali seperti halnya Adolf Hitler di Perang Dunia II?
Salemba, 31 Mei 2013
Leave a Reply