Colombia Bukan Hanya Escobar dan Kartel Kokain

Bogota from Viaggio Urbano Hotel 5th Fl
“Buenos noches Senor, puedes hablar Espanol?” sapaan hangat dari pria paruh baya Colombiano bernama Luis Gonzales ini menyambut saya persis di ruang kedatangan bandara Eldorado Bogota. Pria penjemput saya ini sayangnya tidak bisa berbahasa Inggris. Namun ia tetap menunjukkan keramahan dan kehangatan untuk saya, pria yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Colombia.
Kehangatan ini penting karena ternyata Bogota begitu dingin, dan saya salah kostum ! Walau Colombia berada tak jauh dari garis equator dan tak punya musim dingin, tapi Bogota berada di ketinggian 2625 m di atas permukaan laut di punggung utara Pegunungan Andes. Alias setiap hari mesti dingin walaupun bukan musim dingin. Dengan ketinggian seperti ini Bogota adalah Ibukota negara tertinggi ketiga sedunia setelah La Paz (Bolivia) dan Quito (Equador). Saya jadi membayangkan hidup di Bogota adalah seperti tiap hari hidup di punggungan Gunung Gede dan Pangrango yang hanya lebih tinggi 300 meter saja dari Bogota.
Lalu, kamipun membelah kota Bogota menuju hotel tempat saya akan menginap, Viaggio Urbano Hotel, yang juga berlokasi di ketinggian, di punggungan bukit. Sepanjang jalan saya takjub dengan kebersihan dan pesatnya pembangunan di kota ini. Lalu lintas-nya tertata rapi dan banyak jalur busway di jalur-jalur utama kota. Uniknya busway yang berlabel Trans Milenio ini bisa sampai tiga gandengan panjangnya. Konon pula busway di Jakarta meniru busway di kota ini. Tapi apakah perlu busway di Bogota? saya lihat di jalan-jalan juga tak dipadati kendaraan. Penduduk Bogota-pun hanya setengah dari penduduk Jakarta, 7.5 juta jiwa sahaja.

Hilly housing in Northern Bogota
Disamping jalanan yang tertata rapi, bangunan dan gedung-gedung pun juga tertata rapi. Kebanyakan gedung berwarna coklat batu bata dengan arsitektur campuran, Spanish, France, British atau khas Andean.
Tidak banyak orang berlalu lalang di sepanjang jalan. Mungkin juga karena suhu dingin di kota ini abadi. Kalau malam bisa 9 derajat celcius dan siang hari berkisar 18 – 21 C, tetap dingin untuk ukuran pria Melayu yang setiap hari disiram panas bumi Jakarta.
Ketika sampai di hotel, saya menempati lantai 5 dengan view yang amat keren, langsung ke pusat kota Bogota. Pemandangannya spektakuler, betah berlama-lama melamun di pinggir jendela. Di hotel juga saya tak menemukan ada AC (Air Conditioner) di kamar saya. Make sense sih, udara sudah dingin, siapa pula yang perlu AC?
Hari-hari berikutnya saya merambah Bogota, merambah kampus Universidad Javeriana, downtown Bogota, Museo de Oro, Plaza Bolivar, Istana Presiden, gereja Katedral (menurut info Alex, rekan Colombiano saya, ada 32 gereja Katolik ukuran besar di Bogota), hingga kota tua Bogota yang sarat dengan rumah-rumah tua berwarna warni, hostel untuk turis backpacker serta gang-gang kecil yang penuh asap cannabis (ganja). Konon di Colombia ganja legal dikonsumsi sampai batas 20 gram.
Di perjumpaan yang tidak lama dengan kota cantik ini saya sempatkan juga ‘mingle’ dengan para Colombiano. Dan benar, mereka adalah orang-orang yang hangat, ramah dan siap menolong. Para senora dan senorita-nya juga banyak yang berwajah ala artis telenovela. Saya jadi berfikir, berpuasa Ramadhan di negeri ini akan menjadi tantangan tersendiri. Hambatannya adalah bahasa saja, tak semua orang bisa berbahasa Inggris.

downtown Colombia
Banyak kesan menarik terhadap negeri ini. Yang mengubah pandangan saya tentang negeri ini selamanya. Benar kata orang, seeing is believing. Sebelumnya, saya, dan sepertinya juga semua orang Indonesia, memandang negeri ini semata-mata sebagai surga konflik. Sarat dengan mafia kokain, apakah kartel Medellin, kartel Cali (keduanya konon sudah bubar). Maka, selalu komentar yang mampir ke saya adalah :” salam ya buat Pablo Escoba di Medellin,” atau “Ngapain ke Colombia, Mas, mau dagang kokain?” atau “Kemana Mas, Colombia? kayak Nazarudin dong, nanti ketangkep lho di Cartagena.”
Dan masih banyak komentar lucu, miring, sampai serius tentang Bogota dan Colombia. Tapi sekali lagi, seeing is believing, Colombia bukan hanya Pablo Escobar, bukan hanya kiper nyentrik si gondrong Rene Higuita, juga bukan hanya diva legendaris Shakira “waka waka”. Colombia bukanlah kota Columbia di negara bagian Missouri, USA, juga bukan nama kampus keren di New York almamater Obama (Columbia University), juga tidak sama dengan nama space shuttle Amrik yang meledak pada 1 Februari 2003. Colombia adalah negara cantik dan berperadaban tua yang really worth visiting ! te amo Colombia !
Viaggio Urbano, Bogota, D.C. 18 Junio 2013
Leave a Reply