Bogota? Dimana tuh Mas. Bogor-Tajur maksudnya? Bogota? Nggak tahu ! kalo Bugatti Veyron ane tahu !
Kota Bogota, D.C. ibukota negara Colombia memang kurang populer bagi sebagian besar orang Indonesia. Termasuk para traveller. Karena biasanya yang masuk ke dalam ‘wish list’orang Indonesia adalah Paris, London, Roma, Amsterdam, Berlin, New York, Tokyo ataupun Hong Kong.
Pun, di antara kota-kota di Amerika Latin nama Bogota tidak sangat populer. Barangkali, Buenos Aires di Argentina, Rio De Janeiro dan Sao Paulo di Brasil serta Lima di Peru jauh lebih terdengar. Tidak banyak pula maskapai (airlines) internasional di Asia, Eropa atau Afrika yang punya penerbangan ke Bogota. Sekalipun ada, biasanya flight tersebut menyasar ke tujuan lain di Amerika Latin seperti ke Rio De Janeiro, Sao Paulo atau Buenos Aires. Terkecuali maskapai Amerika Serikat, yang biasanya punya flight ke hampir semua negara di Amerika Selatan melalui pintu Miami atau Fort Lauderdale di negara bagian Florida.
Maka, memang perjalanan ke Bogota menjadi sesuatu banget. Sudah jauh dan mahal, kota ini terkesan misterius juga. Misterius semacam negeri di awan? Seperti itulah. Dan memang betul dalam arti sebenarnya. Bogota memang berada di antara awan. Ia berada di ketinggian 2625 meter di punggungan utara Pegunungan Andes yang setia bertengger di sisi barat Amerika Latin mulai dari Venezuala sampai dengan Argentina. Nah , Bogota persis berada di punggungan sisi utara Andes. Yang menjadikannya sebagai ibukota negara tertinggi dunia setelah La Paz, Bolivia dan Quito, Equador.
Sebenarnya Bogota tidak sangat misterius. Bagi perencana transportasi publik Jakarta, Bogota adalah salah satu rujukan pengadaan jalur busway di Jakarta. Karena memang, di Bogota terhampar jalur busway sepanjang 87 km dengan 11 rute yang bervariasi yang berhimpun dalam korporasi yang bernama Trans Milenio yang beroperasi mulai Desember 2000. Namun, sejatinya Busway Bogota adalah juga tidak orisinal. Karena, ia meniru dan terinspirasi dari sistem busway yang sudah lebih dahulu eksis di Curitiba, Brasil. Bedanya dengan di Jakarta, jalur busway disini sangat rapih. Tak ada mobil dan motor yang masuk jalur busway. Juga, tak ada median yang rusak karena diterabas bus dan mobil pribadi yang menyerobot jalur busway.
Keberadaan Bogota di punggungan gunung ini sungguh amat unik. Membuat jalanan di kota ini berkontur naik turun. Menarik untuk dijalani dengan motor atau mobil. Tapi dijamin ngos-ngosan kalau menggowes sepeda apalagi jalan kaki. Ditambah pula oksigen di ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut tentunya rada tipis.
Begitu juga rumah dan gedung-gedungnya banyak yang berada di ketinggian yang berbeda dalam kontur yang bervariasi. Mengingatkan saya dengan kota Wellington di New Zealand yang seperti menempel di tebing.
Salah satu landmark Bogota yang kebetulan juga menjadi titik tertinggi di ibukota Colombia ini adalah Montserrate. Yaitu puncak gunung berketinggian 3152 meter. yang berhimpitan dengan downtown Bogota dan dapat dijangkau dari kota dengan menggunakan cable car. Di puncak Montserrate ada gereja tua dan tempat pemujaan yang amat eksotis apabila dilihat di senja atau malam hari karena timpaan cahaya yang mengelilinginya. Uniknya, karena ia berada di samping pusat kota, gunung ini tak terkesan seperti gunung seperti adanya. Melainkan hanya seperti viewing point. Padahal dengan ketinggian seperti itu, Montserrate telah mengalahkan ketinggian Gunung Gede dan Gunung Pangrango di Bogor sekaligus !
Sama seperti kota besar lainnya di dunia, Bogota memiliki sisi kota yang terkesan aristokrat dengan penataan tertib, bersih dan arsitektur berkelas, namun juga memiliki tempat-tempat dimana grafitti dan sampah bertebaran dimana-mana. Juga, ada sisi kota seperti kota tua Jakarta yang sarat dengan rumah-rumah cantik ala era Spaniards yang diberi cat berwarna warni. Sangat eksotik !
Namun sejauh pemantauan kami, mata ini belum menemukan wilayah yang amat kumuh di kota berpenduduk 7.5 juta jiwa ini (setengah jumlah penduduk DKI Jakarta). Kemiskinan pasti ada. Tapi juga tidak sangat ekstrem. Dan kalau kemiskinan di Colombia tidak terlihat itu tidak terlalu salah, karena Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Colombia tahun 2013 juga tidak terlalu buruk. Ia berada dalam kelompok ‘high human development.’ Alias, masih di atas Indonesia yang masuk kategori medium human development. Satu mungkin cacat Colombia yang berkontribusi kepada kemiskinan negeri ini, yaitu lestarinya konflik dalam multi-faset, antara negara vs kartel kokain vs paramiliter bentukan landlord vs guerilla sayap kiri berhaluan komunis. Konflik menahun berusia di atas 50 tahun tersebut berkontribusi terhadap jutaan orang terusir dari rumahnya (displaced) dan kehilangan harta bendanya.
Sisi lain dari Bogota yang menarik adalah apresiasinya terhadap keberadaan museum. Disini museum bisa menjadi tempat belajar, tempat rekreasi, sekaligus tempat ‘dating’ ! Paling tidak itu yang kami jumpai di Museo de Oro alias Gold Museum. Museum yang menjadi icon kota Bogota ini amat informatif dan mencerahkan. Biaya masuknya juga amat murah.
Terletak persis di downtown dan sering menjadi starting point para turis dan first time visitor ke Bogota. Bangunannya terdiri atas lima lantai dan memiliki koleksi item sebanyak 55.000 buah yang didominasi oleh koleksi emas dan peradaban emas Colombia (Quimbaya) yang berlangsung jauh sebelum Masehi, jauh sebelum era Spaniards memasuki Amerika Latin. Saking besarnya dan banyaknya koleksi peradaban emas museum ini ia dijuluki sebagai biggest gold museum in the world.
Tidak hanya emas ternyata. Museum ini mengajak pengunjung untuk belajar lebih jauh tentang sejarah peradaban di Amerika Latin yang ternyata sudah amat tua. Beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Juga, ada display yang amat menarik tentang sejarah peradaban dunia mulai dari manusia pertama hingga era modern ini.
Pada bagian-bagian tertentu, museum ini mengajak pengunjung mengalami pengalaman mistis tertentu. Ada ruangan yang amat gelap dengan pencahayaan tertuju pada rakit kecil berselaput emas dalam display tertutup kaca. Konon melambangkan persembahan tetua suku Muisca yang hidup di Colombia kuno terhadap dewa mereka di Danau Guatavita. Persembahan mana dilakukan dengan melumuri tubuh dengan emas yang lama kelamaan melahirkan legenda Eldorado, yaitu legenda kota tua yang hilang yang konon bertaburan emas dan menjadi mimpi para penjelajah Amerika Latin untuk mengeksplorasi-nya.
Ada pula ruangan kedap suara yang engaja digelapkan, dimana pengunjung masuk bergantian tak boleh bersuara dan menyalakan cahaya. Di dalamnya mereka akan digiring untuk mengalami suasana ‘magis’ tertentu karena ada nyanyian-nyanyian kuno lengkap dengan artistik suara dan pencahayaan tertentu yang seolah-olah membawa pengunjung ke tengah danau Guatavita untuk menyampaikan persembahan (offering) kepada dewa tertentu.
Tak jauh dari Museo de Oro, di sisi kanan-nya, ada pasar suvenir yang menarik, dengan ragam kedai yang menawarkan aneka jenis suvenir khas Colombia. Sayangnya, harga-harga di Bogota, termasuk harga suvenirnya, relatif tinggi. Harga 1 US Dollar berkisar 1700 – 1900 Colombian Pesos (COP). Dan harga topi saja bisa mencapai 2000 COP alias lebih dari USD 10.
Beruntungnya, untuk windows shopping dan menikmati seni jalanan (street performance) di sekitar Museo de Oro jelas tak perlu biaya. Dan itu sisi asyik yang lain dari Bogota. Ruang publik di kota ini begitu luas. Banyak jalan mobil yang ditutup pada hari Ahad dimana penduduk bebas berlaku apapun di jalan tersebut selama tidak melanggar hukum. Banyak pula tersedia plaza-plaza tempat penduduk tumpah ruah melepas penat, berekreasi bersama keluarga, menikmati hari dan jarum jam yang serasa lambat di kota ini.
Seni jalanan yang digelar warga bervariasi. Ada yang mengenakan kostum aneh laksana robot, tokoh komik atau kartun, alien, ala robot tentara, dan lain-lain. Mereka diam tak bergerak, kecuali apabila diberi uang baru bergerak ala robot. Ada pula yang menggelar stand up comedy di tengah jalan, bermodal kostum aneka jenis dan wig, membawa sound system sendiri, dan melucu lah ia dengan penuh percaya diri. Kelompok lain melakukan atraksi unik macam breakdance dan beberapa ketrampilan unik lainnya. Ada juga beberapa kelompok pengamen jalanan yang membuka show tunggal dadakan dan menyanyi sekaligus melawak di muka audience yang mengerumuninya.
Salah satu plaza yang paliing populer adalah Plaza Bolivar. Yaitu sebuah ruang lapang berbentuk persegi empat yang diapit oleh Gereja Katedral, Gedung Parlemen dan Mahkamah Agung Colombia. Plaza ini disebut Bolivar karena di salah satu sudutnya ada patung Simon Bolivar, el libertador, pahlawan pembebas banyak negeri di Amerika Latin dari kolonialisme Spanyol yang juga adalah pahlawan Gran Colombia (Negeri Colombia masa lalu yang terdiri dari Panama, Colombia, Venezuela, Equador). Di Plaza ini setiap weekend warga tumpah ruah. Uniknya, banyak pula hewan Llama, hewan asli Pegunungan Andes, yang dibawa ke Plaza ini untuk menghibur anak-anak yang ingin menungganginya.
Tak jauh dari Plaza Bolivar ada Istana Presiden dan beberapa gereja Katolik. Memang kota ini sarat dengan gereja. Menurut penuturan Alex, rekan Colombia kami, ada sekitar 32 gereja Katolik berukuran besar di kota Bogota saja. Istana Presiden ini juga cantik dan, mesti dikawal banyak tentara, tetap sisi depannya mudah dilewati oleh warga umum yang penasaran dengan wujud kediaman orang nomor satu di Colombia.
Seminggu jelas tak cukup untuk menikmati Bogota. Apalagi sehari. Kota di atas awan ini terlalu menawan dan rupawan untuk diabaikan. Upaya ekstra keras untuk mencapainya seolah terbayar dengan ragam keindahan yang diberikannya. Satu hal yang penting adalah, peradaban dan kearifan tidak semua harus berkiblat ke Eropa atau Amerika Utara. Paris, Roma, London, Amsterdam dan Berlin memang indah dan sarat warisan peradaban. Namun negara Colombia dan kota Bogota, juga kota-kota lain di Colombia seperti Medellin, Cali, Cartagena, Bucaramanga, Baranquilla dan sebagainya, juga memiliki peradaban dan sejarah kearifan sendiri. Sama halnya seperti negeri kita tercinta, Indonesia…
Leave a Reply