KEADILAN DALAM PERADILAN CEBONGAN
Heru Susetyo
Staf Pengajar Viktimologi dan Hak Asasi Manusia
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Kasus penyerangan oknum prajurit Kopassus ke Lapas kelas IIA Cebongan-Sleman yang menewaskan empat tahanan Polda DIY asal NTT, Sleman pada 23 Maret 2013 kini sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Militer Yogyakarta yang dimulai pada 20 Juni 2013.
Ada yang menarik dari kasus ini. Yaitu perhatian masyarakat dan media yang melimpah ruah. Sepertinya, baru kali ini persidangan di peradilan militer beroleh perhatian publik yang luar biasa. Setelah yang terakhir adalah pengadilan militer di Jakarta terhadap kasus penculikan aktifis pro demokrasi tahun 1997-1998.
Beberapa kelompok bahkan mendukung secara eksesif tersangka oknum prajurit kopassus dalam kasus Cebongan. Sebelum pengadilan dimulai, ada beberapa warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia Baru menggelar aksi mendukung pemberantasan premanisme. Mereka juga meneriakkan kata-kata, “Hidup Kopassus”. Sementera itu, Aliansi Masyarakat Sipil menyerukan agar seluruh pihak yang berkepentingan dalam masalah ini wajib hukumnya untuk tidak melakukan intervensi dan mendikte proses hukum yang berlangsung di pengadilan militer, dengan tidak menyeret persoalan ini kepada pelanggaran HAM berat, tidak memojokkan institusi TNI, khususnya Kopassus, serta menolak keras segala bentuk terobosan hukum yang nyeleneh dan absurd (SHNews.co/ 20/06/2013). Jelas yang dimaksud adalah Komnas HAM dan LSM-LSM pembela HAM.
Beberapa pihak juga menolak upaya pengadilan memfasilitasi para calon saksi dengan video conference. Alasannya keselamatan para saksi tak terancam dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sementara, para saksi dan juga LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bersikeras bahwa keselamatan mereka terancam sehingga harus mendapatkan perlindungan dalam setiap tahapan persidangan. Termasuk permintaan untuk memberikan kesaksian melalui teleconference.
Melihat kompleksitas permasalahan yang tersaji, dapat diprediksi bahwa peradilan akan berlangsung seru dan penuh dinamika. Maka, wajar apabila kemudian timbul pertanyaan : Bagaimana sebenarnya duduk permasalahan kasus Cebongan dan bagaimana peradilan yang berlangsung dapat memberikan keadilan bagi semua pihak?
Mendudukkan Kasus Cebongan
Yang pertama harus ditegaskan adalah bahwa kasus Cebongan ini adalah kejahatan berupa pembunuhan ataupun pembunuhan berencana. Dan hal ini sudah ditegaskan sejak awal oleh tim investigasi TNI AD untuk kasus Cebongan yang berasal dari penyidik Polisi Militer TNI AD. Hal ini juga ditegaskan oleh dakwaan yang diajukan kepada oknum prajurit Kopassus tersebut, yaitu pasal pembunuhan (pasal 338 KUHP) dan pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).
Yang kedua adalalah, kasus pembunuhan tersebut adalah jelas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini penting karena ketika kasus ini pertama bergulir, banyak pernyataan yang mengatakan bahwa Kasus Cebongan adalah bukan pelanggaran HAM sehingga tidak menjadi subyek Pengadilan HAM. Pernyataaan yang keliru ini bahkan datang dari Kementerian Pertahanan.
Bahwasanya kasus Cebongan adalah bukan pelanggaran HAM berat sehingga bukan menjadi subyek Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud oleh UU No. 26 tahun 2000 adalah betul. Karena pelanggaran HAM berat yang dimaksud oleh UU tersebut adalah memang terbatas pada Genosida (genocide) dan Kejahatan Kepada Kemanusiaan (Crime Against Humanity).
Namun, apabila mengatakan bahwa kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM jelas keliru. Bagaimana bisa perbuatan yang menyebabkan hilangnya empat nyawa manusia bukan pelanggaran HAM? Pengertian pelanggaran HAM menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Ketiga, ada kesan dan pembenaran bahwa apa yang dilakukan oleh oknum Kopassus tersebut adalah beralasan, karena mereka sedang membasmi premanisme. Sehingga tindakan tersebut, walaupun bersifat main hakim sendiri, adalah harus didukung. Sejatinya, ini adalah suatu logika ‘false negative.’ Seolah-olah mereka tidak bersalah, padahal bersalah. Apakah benar bahwa oknum Kopassus tersebut sedang membasmi premanisme? Sejatinya tidak. Mereka membunuh para tahanan tersebut adalah karena balas dendam atas kematian dan penganiayaan terhadap para sejawatnya. Kebetulan saja empat tahanan tersebut diindikasikan sebagai ‘preman’. Kalau bukan preman? Tetap saja akan dihabisi, karena niatan utamanya adalah balas dendam terhadap pembunuh sejawatnya dan bukan dalam rangka membasmi premanisme.
Keempat, ada semacam penghakiman dari publik terhadap premanisme, dan bahwasanya para preman tersebut adalah berasal dari daerah tertentu, sebutlah dari Nusa Tenggara Timur (dan bukan kebetulan bahwa keempat tahanan dibunuh tersebut adalah berasal dari NTT). Ada yang kurang pas disini. Karena, premanisme dan preman adalah suatu kategori yang absurd dan subyektif. Tak ada definisi dan klausul hukum yang dapat menjelaskan apa itu preman dan premanisme. Maka, ia adalah suatu konstruksi sosial terhadap realitas. Siapa, apa dan kapan seseorang disebut preman, tergantung dari masyarakat ataupun aparat yang memberikan label terhadap kelompok tertentu sebagai preman. Kemudian, terjadi juga semacam generalisasi dalam bentuk prasangka terhadap kelompok tertentu sebagai preman (guilt by association). Seolah-olah preman hanya berasal dari NTT. Dan seolah-olah orang NTT adalah preman. Prasangka ini kurang sehat, karena sejatinya tidak semua ‘preman’ berasal dari NTT dan tidak semua orang NTT adalah preman.
Kelima, ksatria dan jiwa korsa. Ada sinyalemen bahwa para prajurit Kopassus tersebut telah secara ksatria mengakui perbuatannya. Merekal melakukan balas dendam atas dasar semangat l’esprit de corps (yang diterjemahkan menjadi jiwa korsa). Ini juga bagian dari sesat pikir. Karena kalau mereka betul-betul ksatria, tentunya tak perlu melakukan penganiayaan kepada petugas LP, menghancurkan CCTV apalagi sampai membunuh tahanan. Lalu, kalau betul ksatria tentunya sedari awal mereka harus mengakui perbuatannya dan langsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang. Apakah komandan langsung, pihak provoost ataupun Polisi Militer TNI AD. Deviasi selanjutnya adalah tentang implementasi jiwa korsa yang kurang tepat. Tak sepatutnya membela sejawat, institusi dan korps dilakukan dengan cara-cara melawan hukum bahkan terbilang sadistis.
Menuju Peradilan yang Sehat
Bahwasanya bukan sekali dua kali aparat melakukan kekerasan terhadap warga sipil sudah bukan menjadi rahasia umum. Namun kitapun harus mengakui bahwa aparat TNI dan POLRI kini sudah berbeda dibandingkan pada masa orde baru. Kini Aparat sudah semakin terbuka. Sudah mulai berani minta maaf kalau berbuat salah dan berani mengadili anggotanya apabila melakukan kesalahan.
Pengadilan militer yang dahulu amat misterius, kini mulai membuka diri untuk ikut dipantau publik. Dahulu, seolah ada sekat antara masyarakat dengan pengadilan militer. Apalagi, pengadilan militer amat eksklusif. Hakim, Oditur (jaksa) dan penasehat hukumnya adalah militer.Juga, peran dari komandan amat luas selaku Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Pepera).
Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa tidak banyak publik yang mengetahui adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan UU Pengadilan Militer (No. 31 tahun 1997). Karena, materi hukum acara peradilan militer memang tidak banyak diajarkan di perguruan tinggi hukum umum.
Maka, jalan terbaik untuk memantau peradilan militer kasus Cebongan adalah dengan memahami hukum pidana dan hukum acara peradilan militer secara komprehensif. Untuk keperluan ini, keterbukaan institusi dan peradilan militer menjadi amat penting. Jangan ada sekat dan ketertutupan yang membuat laju peradilan kasus ini sulit dipantau.
Perlindungan terhadap korban, saksi maupun tersangka pelaku juga harus dilakukan secara serius. Saksi dan tersangka harus dapat memberikan keterangan dengan aman dan nyaman. Tanpa tekanan, paksaan, maupun intimidasi. Maka, saksi harus diberi kesempatan untuk bersaksi dengan media semacam teleconference, kalau itu membuat mereka lebih nyaman dan merasa tidak terancam.
Terakhir, keadilan juga harus diberikan untuk semua. Aparat TNI dan POLRI juga berhak mendapatkan keadilan. Pelaku pembunuhan dan penganiayaan prajurit Kopassus sejawat mereka juga harus diproses hukum dan diadili dengan serius. Karena itu adalah juga kejahatan dan pelanggaran HAM juga. Hukum harus berlaku sama untuk semua orang tanpa memandang status, profesi, harta dan akses politik. Karena Indonesia masih negara hukum.
Leave a Reply