https://www.selasar.com/politik/kembalinya-firaun
Kembalinya Hukum Fir’aun di Mesir
by Heru Susetyo
Staf Pengajar FHUI/ Alumnus Program Doktor Human Rights & Peace Studies Mahidol University
Fir’aun Justice alias Keadilan ala Fir’aun. Inilah model keadilan dan peradilan sesat yang kini ditampakkan dan dipraktekkan secara lugas dan gamblang oleh rezim milier Mesir pasca kudeta terhadap Presiden Muhammad Morsi pada Juli 2013.
Produk Fir’aun Justice terakhir yang masih lekat dalam ingatan adalah penjatuhan vonis mati terhadap 529 aktivis Ikhwanul Muslimin pada 24 Maret 2014 di Pengadilan Minya, Mesir. Sejujurnya, ini adalah kekonyolan sekaligus lelucon hukum terbesar abad ini.
Disebut lelucon, karena ketika negara-negara Eropa menghapuskan hukuman mati, yang diikuti pula oleh negara-negara maju lain seperti Australia, Kanada, atau Selandia Baru, Mesir malah kembali memberlakukan hukuman mati. Bahkanuntuk 529 orang sekaligus. Suatu angka yang amat fantastis dan membuktikan bahwa rule of lawsama sekali tak berjalan. Hukum bertekuk lutut di bawah ketiak politik. Hakim menghamba kepada politisi. Rule of politic digdaya di atas rule of law.
Penjatuhan vonis konyol ini hanyalah satu episode dari pelemahan dan penghancuran sistematis terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood -MB). Setelah gerakan ini memenangkan pemilu parlemen dan pemilu kepresidenan Mesir secara demokratis pada tahun 2012, secara bertahap kekuatan-kekuatan anti MB yang merupakan gabungan dari unsur-unsur dalam negeri dan luar negeri mulai menggerus kekuatan MB.
Manuver hukum dan politik Presiden Morsi sejak tahun 2012 demi mengamankan pemerintahan dan demokrasi yang baru seumur jagung ini menjadi justifikasi para Muslim Brotherhood-haters untuk mendelegitimasi kekuasaan Morsi dan MB. Kisah selanjutnya sama-sama kita ketahui. Presiden Morsi dikudeta pada 3 Juli 2013. Kemudian secara sistematis gerakan-gerakan membela Morsi dan pro demokrasi di Mesir ini dilawan secara kasar dan brutal. Para demonstran ditembak, diserang, ditangkap dan dipenjara semena-mena. Tak cukup itu, mereka diberi label pemberontak, pembangkang hingga teroris. Lebih parah lagi, kekerasan terhadap demonstran tersebut dijustifikasi oleh sekelompok ulama dan syaikh yang pro dengan kalangan militer. Lengkaplah penghancuran sistematis terhadap MB.
Peristiwa 14 Agustus 2013 di Rabia Al Adawiya Square adalah salah satu kekerasan terbesar terhadap demonstran di Mesir pasca kudeta Morsi.Ketika itu, polisi dan tentara Mesir menyerbu dua camp demonstran masing-masing di Nahda Square dan Rabia Al Adawiya Square. Para demonstran pro demokrasi telah menduduki kedua lapangan tersebut sejak enam pekan sebelumnya, tak lama setelah Presiden Morsi dikudeta. Dalam serangan polisi tersebut, 638 orang tewas dan 3994 terluka (menurut versi Kementerian Kesehatan Mesir). Sedangkan menurut versi Muslim Brotherhood, jumlah korban tewas di Masjid Rabia Al Adawiya saja berjumlah 2600 jiwa.
Tak pelak lagi, Human Rights Watch, NGO HAM Internasional yang bermarkas di New York, menyebut kekerasan tersebut sebagai ‘the most serious incident of mass unlawful killings in modern Egyptian history.’ Ironisnya, kemarahan dunia internasional tak terlalu terlihat. Padahal, krisis di Ukraina pada pertengahan Februari 2014 yang menewaskan 82 demonstran, 13 polisi dan melukai 1100 begitu membuat Uni Eropa dan USA murka. Kecaman datang bertubi-tubi terhadap Presiden Victor Yanukovych yang membuatnya hengkang meninggalkan ibukota Kiev dan Ukraina seketika berubah menjadi medan perang saudara akibat intervensi Rusia.
Kembali pada vonis konyol yang menjatuhi hukuman mati kepada 529 aktifis MB, tabloid Media Umat (17/04/2014) menyebutkan bahwa kalau hukuman mati ini benar-benar dilaksanakan, hal itu adalah merupakan eksekusi massa lewat proses pengadilan sandiwara terbesar di dunia. Bandingkan dengan pengadilan Nurnberg di Jerman tahun 1945 yang mengadili tersangka penjahat perang NAZI Jerman dengan dakwaan melakukan genocide/ holocaust. Dari 24 tersangka penjahat perang tersebut, hanya 12 diantaranya yang kemudian dihukum mati. Selebihnya dbebaskan atau dipenjara.
Lucunya, vonis mati terhadap aktivis MB tersebut dua pertiganya dijatuhkan secara in absentia. Alias tanpa kehadiran terdakwa. Hanya 153 orang dari 529 tersangka yang betul-betul berada dalam tahanan. Sisanya masih diburu aparat keamanan. Pertanyaannya, bagaimana bisa suatu hukuman mati dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa? Tanpa mendengarkan pembelaan terdakwa, pembuktian, dan keterangan saksi-saksi/ ahli? Tak salah apabila pengadilan Mesir tersebut telah mempraktekkan keadilan ala Fir’aun, sang raja zalim era Mesir Kuno.
Tak cukup itu, Arab Organization of Human Rights (AOHR) menyebutkan bahwa sejak kudeta 3 Juli 2013, tak kurang dari 575 anak-anak telah ditahan oleh rezim militer. Jumlah ini diperkirakan jauh lebih tinggi dari angka yang diberikan oleh para pejabat. Sebab, dalam banyak kasus usia para tahanan disembunyikan atau dilaporkan dengan usia yang lebih tua.
Nyawa manusia seolah tak ada harganya lagi di Mesir. Orang-orang yang berseberangan dengan rezim militer dituduh sebagai pemberontak. Demonstrasi dianggap pembangkangan dan mengancam stabilitias negara. Upaya-upaya militer dan polisi menumpas demonstrasi melalui jalan kekeasan dilegitimasi dengan justifikasi agama. Puncaknya, Muslim Brotherhood-pun diberi stempel sebagai organisasi teroris sejak Desember 2013..
Hal ini memalukan untuk negeri Mesir modern. Mesir adalah tempat lahirnya Cairo Declaration of Human Rightstahun 1990 yang disponsori negara-negara anggota OKI. (Organisasi Konferensi Islam). Isi dari deklarasi HAM tersebut hampir senapas dengan Deklarasi HAM Universal 1948, hanya dilengkapi dengan perspektif Islam dan keimanan terhadap Allah SWT. Selebihnya, seperti penghargaan terhadap hak hidup, hak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kekerasan, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perendahan martabat, serta perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak adalah sama.
Mesirpun, di masa Anwar Sadat dan Hosni Mubarak, sudah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 1982, Konvensi Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Segala Bentuknya (CEDAW) pada tahun 1981, Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan juga telah mengaksesi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) pada tahun 1986.
Konsekuensinya, siapapun pemerintah yang berkuasa di Mesir, secara legal dan konstitusional seperti Presiden Morsi, ataupun secara illegal melalui kudeta, macam rezim militer Jenderal As-Sisi, memiliki kewajiban yang sama untuk tunduk, patuh, dan mengikat diri terhadap rezim hukum hak asasi manusia internasional dimana Mesir telah mengikat diri.
Apabila hukum melulu dikangkangi politik, dan demokrasi seumur jagung dikembalikan kepada otoritarianisme militer, serta pengadilan tak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan, maka benarlah sudah bahwa Mesir telah kembali menerapkan Keadilan Fir’aun.
Leave a Reply