LAGU LAMA POLITIK THAILAND
Heru Susetyo
Staf Pengajar Tetap FH-UI
& Alumnus Program Doktor bidang Human Rights & Peace Studies
Mahidol University, Bangkok
Negeri ‘land of smile’ Thailand kini sulit tersenyum lagi. Pasalnya, Kudeta militer kembali terjadi di Thailand, setelah terakhir terjadi pada September 2006. Tepatnya pada sore hari Kamis 22 Mei 2014, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Prayuth Chan-Ocha mengumumkan bahwa militer mengambil alih kekuasaan dan menahan mantan PM Yingluck Shinawatra dan PM sementara Niwatthamrong Boonsongpaisan di daerah Saraburi, utara Bangkok.
Kudeta ini berlangsung tanpa kekerasan. Sama seperti kudeta terakhir pada September 2006 yang menggulingkan mantan PM Thaksin Shinawatra. Dan juga tidak terlalu mengejutkan publik Thailand. Banyak pihak sudah meramalkan bahwa militer akan mengambil alih kekuasaan. Ini sudah seperti lagu lama. Sudah biasa. Apalagi, konflik sipil, antara kelompok merah pendukung pemerintah dan kelompok kuning anti pemerintah yang meruncing sejak November 2013 makin ruwet dan menurut perspektif militer, adalah telah mengancam stabilitas negara. Maka, militer merasa perlu meng-intervensi.
Dan kudeta ini bukan kali pertama bagi militer. Sejak Thailand menjadi monarkhi konstitusional pada 1932, kurang lebih sudah 18 kali militer melakukan kudeta dan 12 diantaranya berhasil merubah pemerintahan.. Maka, ini tidak bisa dibilang suatu aksi penyelamatan negara semata, tapi adalah suatu kebiasaan, ketagihan, atau dalam istilah lain adalah a hard habit to break.
Instabilitas politik di Thailand berlangsung sama tuanya dengan usia Monarki Konstitusional Thailand sendiri, Sejak tahun 1932 Thailand memberlakukan sistem parlementer dengan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan dan Raja sebagai Kepala Negara sekaligus mengakhiri Monarki Absolut tanpa konstitusi Kerajaan Siam yang dipimpin Raja Rama VII (Prajadiphok). Sejarah mencatat, sejak tahun 1939 Kerajaan Siam berganti nama menjadi Thailand dengan adopsi model pemerintahan ala demokrasi di barat.
Sejak tahun 1932 itu pula sejak kini puluhan kali kerusuhan politik dan kudeta berdarah maupun tak berdarah mewarnai negeri ini. Perdana Menteri Thailand berganti puluhan kali dengan durasi pemerintahan yang singkat. Dan tidak semua terpilih melalui pemilu yang demokratis. Sebagiannya adalah karena kudeta atau dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Thailand.
Pemerintahan militer yang tak demokratis bergantian memimpin negeri dengan pemerintahan sipil.yang juga tak bisa dibilang semua demokratis. Yang paling menarik adalah di tahun 2008, dimana Perdana Menteri (PM) Thailand berganti hingga empat kali. Uniknya hanya satu di antara empat PM tersebut yang terpilih melalui mekanisme Pemilu. Selebihnya karena kudeta tak berdarah dan karena PM sebelumnya dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sama seperti mantan PM Yingluck Shinawatra yang dilengserkan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada 7 Mei 2014.
Akan halnya sejarah intervensi militer Thailand terhadap pemerintahan bukanlah hal yang baru. Bahkan Revolusi Siam tahun 1932 adalah dipelopori oleh para perwira militer muda dan para aktifis pro demokrasi lulusan pendidikan barat.
Pun dalam alam demokrasi, sejarah intervensi militer Thailand adalah sama tuanya dengan demokrasi di Thailand itu sendiri. Setahun setelah revolusi 1932, militer kembali melakukan kudeta pada 20 Juni 1933 terhadap Perdana Menteri Phraya Manopakorn Nititada yang pemerintahannya dianggap militer telah mengarah ke diktator. Kudeta militer berikutnya yang berskala besar dan sukses menggulung pemerintahan terjadi pada 1947, 1949, 1957, 1958, 1971, 1976, 1977, 1991, 2006 dan akhirnya pada 2014.
Dan militer Thailand selalu memiliki justifikasi untuk melakukan kudeta dan mengintervensi pemerintahan. Atas nama stabilitas negara, keamanan nasional, memulihkan perdamaian, dan sebagainya. Sebagian besar kudeta militer berlangsung secara damai (bloodless), namun tak pelak beberapa intervensi militer (dan polisi) menghasilkan pertumpahan darah.
Sebutlah konflik antara massa demonstran dengan polisi/ militer Thailand pada 14 Oktober 1973 yang menewaskan seratusan lebih massa. Kemudian peristiwa 6 Oktober 1976 yang menewaskan 46 orang mahasiswa. Gerakan tersebut adalah dipelopori mahasiswa Thammasat University dalam rangka menentang kembalinya Field Marshall Thanom, mantan PM Thailand, dari tempat pengasingannya. Lalu gerakan rakyat Mei 1992 menentang PM asal militer Suchinda Kraprayoon yang populer dengan nama Black May dan menelan korban 52 orang tewas.
Maka, sulit mengatakan bahwa militer Thailand tak memiliki motif dan ambisi kekuasaan ketika melakukan intervensi dan kudeta. Faktanya, sejak 1933 sampai hari ini, tak kurang dari sepuluh petinggi militer Thailand (tujuh Jendral dan tiga Field Marshal) telah menjadi Perdana Menteri Thailand, apakah berstatus sementara maupun permanen.
Katsamaporn Rakson (2010) berpendapat bahwa intervensi militer Thailand telah berimplikasi kepada stabilitas politik di Thailand. Militer melakukan intervensi karena demokrasi lemah. Sistem demokrasi yang dipertontonkan penguasa sipil adalah tidak stabil. Diwarnai pertentangan tajam antar elit sipil, pemerintahan yang korup, dan berkurangnya saluran-saluran partisipasi publik dalam pemerintahan. Juga, di level masyarakat telah terjadi keterbelahan antar kelas sosial, antara si kaya dan si miskin, antara pendukung konservatisme dan pemuja liberalism. Hal ini terlihat dalam fragmentasi basis dukungan antara kelompok anti mantan PM Thaksin Shinawatra dan kelompok pembela-nya. Mereka yang anti rata-rata adalah kelas menengah dan kebanyakan berkonsentrasi di Bangkok area. Sementara massa pendukung Thaksin adalah kelas menengah ke bawah dengan basis dukungan kebanyakan di bagian utara dan timur laut Thailand.
Maka, walaupun, untuk tahapan tertentu, kudeta militer ini ‘dibutuhkan’ dan militer dianggap sebagai pihak yang paling mampu mengatasi kebuntuan politik Thailand ketika pemerintahan sipil gagal memberikan jalan keluar, namun tetap-lah bukanlah jalan terbaik. Karena kudeta militer sejatinya adalah bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi sendiri, bukan merupakan jawaban ideal dari instabilitas politik serta tidak akan melahirkan kohesi sosial dalam waktu lama (Rakson, 2010). Sebaliknya, malah berpotensi melahirkan disintegrasi baru.
Barangkali Thailand perlu berkaca ke jiran-nya Indonesia. Indonesia jauh lebih majemuk dari sisi sosial politik dan budaya. Militer-pun pernah sangat berkuasa dan sampai saat ini masih menjadi kekuatan berpengaruh dalam peta politik Indonesia. Skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM/ HDI) Indonesia pun masih di bawah Thailand. Namun, politik dalam negeri Indonesia cenderung lebih stabil. Dan anak-anak sekolah di Indonesia tak akan kerepotan untuk menghafalkan jumlah presiden Indonesia dibandingkan anak-anak di Thailand. Karena dalam kurun waktu 1945-2014 negeri yang bukan ‘land of smile’ ini baru memiliki 6 (menjelang 7) presiden saja.
Leave a Reply