PERKOSAAN ANTARA INDIA DAN INDONESIA
by : Heru Susetyo
Staf Pengajar Viktimologi
FakultasHukumUniversitas Indonesia
hsusetyo@ui.ac.id/ @herususetyo
Satu kasus perkosaan(gang rape) terjadi di New Delhi pada 16 Desember 2012 yang dilakukan oleh enam pria, dimana sang korban meninggal dunia di Singapore pada 29 Desember 2012, dan seluruh India berduka dan marah. Peringatan tahun baru 2013 diputuskan untuk diselenggarakan secara sederhana karena India tengah berkabung. Luar biasa negeri ini.
Di Indonesia, sebaliknya, kasus perkosaan seringkali ditanggapi secara tidak serius. Dianggap sebagai peristiwa sehari-hari dan kejahatan biasa. Ketika ada anak usia 11 tahun diperkosa, publik tidak terlalu bereaksi keras dan media massa juga tidak bergeliat. Bahkan, seorang calon hakim agung (MDS) dalam fit and proper test untuk seleksi calon Hakim Agung Mahkamah Agung RI oleh Komisi III DPR pada 14/01/2013 mengatakan bahwa : “yang diperkosa dan yang memerkosa ini sama-sama menikmati, jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati,.” (Seputar Indonesia 16/01/2013). Suatu komentar asal bunyi yang memancing kemarahan publik dan akhirnya membuat sang hakim meminta maaf secara terbuka.
Reaksi masif terhadap perkosaan di India ini menarik dicermati. Mengingat, perkosaan bukanlah kejahatan yang jumlahnya sedikit di India. Menurut statistik, setiap 22 menit terjadi satu kali perkosaan di India. Dan untuk negeri dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia (1.2 jiwa) setelah China tentunya angka tersebut spektakuler.
Pasca ‘gang rape’ tersebut kemarahan publik terjadi dimana-mana. Hampir seluruh kota besar di India bergejolak. Bahkan di Inggris-pun, dimana komunitas India cukup signifikan, terjadi rally untuk mengecam peristiwa keji tersebut.
Orang biasa hingga tokoh publik bersuara keras untuk kasus ini. Politisi muda di parlemen yang tak bersuara lantang dikecam konstituennya, karena tidak bersuara lantang terhadap kasus ini. Termasuk yang dikritik adalah Rahul Gandhi, anggota parlemen muda putra mantan PM Rajiv Gandhi dan cucu mantan PM dan legenda India, Indira Gandhi.
Tak cukup itu, transportasi khusus disiapkan untuk mengantar dan menjemput korban perkosaan ke dan dari rumah sakit di Singapore. Pemerintah pusat turun tangan langsung dan menempatkan kasus ini sebagai prioritas. Peran kepolisian disorot keras dan beberapa yang tidak bertindak tepat dikenakan sanksi.
Keamanan di transportasi publik dikritisi. Pembenahan dilakukan dimana-mana dan gugus tugas untuk kasus ini dibentuk. Per 1 Februari 2013 semua bis umum harus diperlengkapi dengan webcam, CCTV dan GPS. Awak bis termasuk pengemudi taksi harus diverifikasi dan memiliki ID card yang jelas per 1 Maret 2013. Polisi berpakaian sipil akan ditempatkan di bus-bus dengan rute-rute yang rentan kekerasan. Diskotek harus menghentikan kegiatannya jam 1 malam. Serta nomor kontak langsung polisi (helpline 100) dan kontak kekerasan terhadap perempuan (helpline 1091) dimantapkan dan dikembangkan.
Selanjutnya, setiap kantor polisi harus memiliki satuan khusus pelayanan perempuan dan minimal dua orang polisi wanita harus berpiket di malam hari. Pemerintah-pun menyerukan supaya sekolah-sekolah tidak menyewa bis umum tanpa terlebih dahulu diverifikasi oleh polisi tentang pemilik dan awak bus tersebut.
Di media massa India, politisi dan tokoh publik yang bersuara miring terhadap kasus ini dikecam keras. Misalnya Asharam Bapu, tokoh spiritual dari Gujarat, ia mengatakan bahwa dalam kasus perkosaan, perempuan adalah sama bersalahnya dengan para tersangka (karena keluar malam hari dan berpakaian sexy), dan sang korban seharusnya memperlakukan para pelaku seperti saudara. Kontan saja, komentar bernada patriarkhi dan tidak sensitif gender ini mengundang kecaman dari public dan Asharam Bapu langsung meminta maaf secara terbuka (The Telegraph, 09/01/2013)
Di Desa Hisar di Haryana, India,. pemuka masyarakat setempat menyerukan supaya para gadis tidak perlu menggunakan telepon genggam, dan dilarang mengenakan t-shirt dan celana jeans. Seruan tersebut juga, kontan, mengundang reaksi keras dari pemerhati hak-hak perempuan, dengan mengatakan bahwa telepon genggam dan pakaian bukanlah sebab utama terjadinya perkosaan.
Artis Bollywood terkemuka, Priyanka Chopra, turut mengecam kejahatan ini. Dalam kolomnya di India Today (14/01/2013) ia mengatakan bahwa bukan saatnya lagi melulu perempuan yang disalahkan. Bahwa perempuan harus memperhatikan apa busana yang dipakainya, bagaimana perilakunya, apa yang dilakukannya, tanpa menekankan bahwa masyarakat juga harus menghargai hak-hak perempuan dan para lelaki juga harus memperhatikan mentalitasnya. Priyanka juga mengatakan bahwa perempuan muda di India sudah berusaha untuk menyelaraskan antara tradisi dengan modernitas. Menutup kepala ketika masuk tempat ibadah, berdiri ketika orang berusia tua masuk ke ruangan, juga mengurus anak di dalam rumah tangga, namun bukan berarti perempuan India tak boleh keluar rumah kapanpun dan dengan siapapun serta dengan menggunakan busana apapun
Kalangan masyarakat umum bersikap sama kerasnya. Banyak yang menuntut supaya para pelakunya dihukum keras. Bahkan banyak yang menyerukan hukuman gantung, hingga hukuman mati. Pada 15 Januari 2013 , Pengadilan Dwarka di India bahkan menghukum mati seorang pria tua yang memperkosa dan membunuh anak usia 3 tahun. Ini adalah respon cepat terhadap tudingan bahwa hukum untuk kejahatan perkosaan di India terlalu berpihak kepada pelaku ketimbang kepada korban (offender-oriented).
Kemarahan publik tak pandang bulu. Salah satu dari enam tersangka pelaku perkosaan New Delhi adalah masih anak-anak, berusia 16 tahun. Namun tetap publik menuntut supaya si anak diperlakukan seperti tersangka dewasa atau sistem peradilan pidana tersangka dewasa diturunkan, dari minimal berusia 18 tahun menjadi minimal usia 16 tahun, supaya dapat menjerat anak ini.
Dampak lain kemarahan publik ini, para advokat terkenal di India menjadi ragu-ragu untuk membela tersangka kasus ini. Khawatir mendapat kecaman publik. Karena seringkali publik sukar membedakan antara pembelaan terhadap tersangka pelaku kejahatan dengan profesionalisme selaku advokat.
Pembelajaran untuk Indonesia
India memang bukan negeri yang ideal untuk dijadikan benchmarking penegakan hukum. Angka kejahatatannya pun relatif tinggi. Apalagi pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan di jalan raya. Tak terbilang banyaknya.
Namun, terlepas dari apakah yang dilakukan pemerintah India pasca kasus gang rape New Delhi ini adalah suatu pencitraan politik ataupun tidak, juga apakah akan berjalan baik atau tidak, kebijakan taktis yang diambil baik di bidang hukum dan sosial politik patut diacungi jempol. Satu kasus perkosaan terjadi di India, dan seluruh negeri gempar dan tindakan taktis dilakukan. Padahal perkosaan bukan barang baru disana. Setiap 22 menit terjadi satu kali perkosaan.
Yang juga patut dipuji adalah sikap kritis dan kemarahan publik India. Termasuk advokasi dari para pemerhati hak-hak perempuan. Tak sekedar marah kepada tersangka pelaku, mereka juga mengkritik para penegak hukum, politisi yang tak bersuara lantang, hingga tokoh publik dan tokoh agama yang asal bunyi, patriarkhis dan tidak gender-sensitive.
Pembelajaran lain adalah, bagaimana hukum India begitu melindungi korban. Sampai saat ini nama korban dan foto pelaku tak pernah diungkapkan jelas kepada publik. Media massa-pun menghormati ketentuan ini. Publik hanya tahu korban sebagai gadis muda berusia 23 tahun mahasiswa Fisioterapi di New Delhi, tidak lebih.
Dalam perspektif viktimologi, memang dalam suatu kejahatan, seringkali sedikit atau banyaknya ada ‘kontribusi’ dari korban. Misalnya berada di tempat dan waktu yang salah, menggunakan perhiasan atau busana yang tidak umum, tidak mengunci mobil dan menjaga baik property-nya, dan lain-lain. Namun terlepas dari masalah kontribusi korban, penegakan hukum tetap harus fair dan tidak semata-mata blaming the victims, menyalahkan korban. Salahkan juga penegakan hukum yang lemah, aparat yang tidak awas, fasilitas yang kurang layak, dan juga, mengutip Priyanka Chopra, mentalitas manusia yang tidak sehat.
Otoritas transportasi di Indonesia sudah merintis ke arah pencegahan terhadap pelecehan perempuan di transportasi umum. Dengan kebijakan gerbong dan kereta khusus perempuan di Jabodetabek, atau pintu masuk khusus perempuan di Bus Way. Namun hal itu saja tidak cukup tanpa dukungan publik yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten.
wallahua’lam
Kolkata India & KL, Malaysia Jan 2013
Leave a Reply