Staf Pengajar Viktimologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Sekretaris Jendral Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)
Siapa pahlawan di era pandemi COVID-19 ini? Tentunya para tenaga kesehatan (Nakes) adalah yang pertama-pertama disebut. Disamping profesi-profesi lainnya seperti petugas keamanan, petugas transportasi publik, penyedia jasa energi, pengusaha kuliner, para pengusaha yang tetap mempekerjakan karyawannya di tengah minim pemasukan, dan sebagainya.
Pengorbanan dari para nakes adalah luar biasa. Bahkan tidak sedikit yang telah wafat karena terpapar COVID-19. Belum lagi yang mengalami sakit dan penderitaan yang luar biasa karena terinfeksi COVID-19 ketika tengah menangani pasien. Data dari PB IDI menyebutkan bahwa telah 24 dokter gugur karena COVID-19 (detik.com, 16/04/2020). Sementara itu, jumlah perawat yang gugur karena COVID-19 adalah 14 orang, sampai dengan 19 April 2020 (Republika, 19/04/2020).
Di Inggris, delapan dokter meninggal per 8 April 2020 (nytimes.com). Di Italia lebih parah lagi. 100 dokter dan 26 perawat telah gugur per 9 April 2020 (Aljazeera.com & cnn.com). Sedihnya, ada pula yang bunuh diri karena tak kuat menahan stigma dari masyarakat dan rasa takut dirinya menginfeksi orang lain. Paling tidak seorang perawat di Monza Italia, perawat di London, UK dan seorang dokter di Perancis telah bunuh diri pada akhir Maret dan pekan pertama April 2020.
Begitu besarnya perjuangan dan pengorbanan para nakes, sedihnya, tidak semuanya mendapatkan penghormatan yang pantas dari masyarakat. Ada perawat gugur yang ditolak masyarakat untuk dimakamkan di daerahnya. Ada petugas klinik yang ditampar karena meminta calon pasien menggunakan masker di Semarang (Republika, 12/04/2020).
Entah apa yang ada di benak warga, ketika menolak jenazah perawat dimakamkan di Ungaran Barat, Semarang pada 9 April 2020 (Republika, 09/04/2020). Sampai akhirnya harus dipindahkan ke TPU Bergota di Semarang. Penolakan ini menurut kemarahan para tenaga kesehatan. Apa salah sang perawat yang telah mengorbankan nyawanya demi kemanusiaan, namun ketika wafat-pun malah ditolak dimakamkan?
Sebelumnya, pada 31 Maret 2020 satu jenazah korban COVID-19 ditolak warga untuk dimakamkan di tiga lokasi berbeda di Banyumas. Di Cianjur seorang jenazah COVID-19 juga ditolak warga hingga harus dimakamkan di Bandung. (detik.com, 07/04/2020) dan di Makassar warga mengusir ambulan dan menolak jenazah COVID-19 dimakamkan di pemakaman Baki Nipanipa Makassar, hingga harus dipindahkan ke pemakaman lain (kompas.com, 29/03/2020).
Tenaga Kesehatan
Tak pelak lagi, nakes berada di garda terdepan (frontline) dalam menghadapi COVID-19 ini. Mereka ada di depan di saat orang-orang duduk manis di rumah dan rebahan nyaman di kamar. Mereka tetap terjaga ketika orang-orang tertidur. Mereka sulit pergi ke toilet, makan minum, bahkan untuk mengatur waktu beribadah ketika saat-saat darurat tiba dan harus mengenakan protokol pakaian yang safety (yang sayangnya juga tak tersedia lengkap di semua fasilitas kesehatan).
Undang-Undang Tenaga Kesehatan tahun 2014 menyebut bahwa nakes tidak hanya tenaga medis (dokter), tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, dan sebagainya. Nakes ada hampir di semua fasilitas kesehatan yang menangani pasien yang terduga terpapar COVID, apapun status-nya (OTG, ODP, PDP, Suspect, Positif). Entah di puskesmas, klinik, rumah sakit, tempat praktek mandiri, apotek, unit transfusi darah, laboratorium, dan lain-lain. Seringkali mereka tak punya pilihan selain untuk menangani pasien terduga terpapar COVID-19. Panggilan professional dan jiwa kemanusiaan membuat mereka berada di garda terdepan. Mereka harus standby dalam waktu lama di fasilitas kesehatan. Untuk pulang menjumpai keluarga dan orang-orang tercinta pun sulit. Karena mereka harus juga menjaga kesehatan dan keamanan keluarga. Kalaupun pulang, mereka harus mengisolasi diri secara mandiri. Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Dan entah sampai kapan perjuangan ini harus dilakukan. Karena hingga saat ini pandemi COVID-19 belum menampakkan tanda-tanda akan tamat.
Untuk pulang menjumpai keluarga dan orang-orang tercinta pun sulit. Karena mereka harus juga menjaga kesehatan dan keamanan keluarga.
Stigma dan Viktimisasi
Kemarahan tenaga kesehatan terhadap warga yang menolak pemakaman kolega perawat di Semarang amat wajar. Di saat harusnya mereka diapresiasi, tapi warga malah mem-viktimisasi mereka. Di saat mereka mestinya dihormati, mereka malah beroleh diskriminasi.
Mengapa terjadi viktimisasi terhadap nakes? Karena beredar stigma tidak jelas terhadap COVID-19. Akibat edukasi terhadap warga yang belum optimal. Yang membuat kesadaran dan pemahaman warga juga masih di level standar. Bahwasanya jenazah COVID-19 masih dapat menularkan virus. Bahwasanya nakes yang masih hidup-pun rawan menularkan virus. Hingga ada nakes yang dusir dari rumah kost-nya
Stigma ini pada gilirannya akan menimbulkan guilt by association. Yaitu suatu kondisi dimana ada generalisasi terhadap suatu kelompok hanya karena ada satu ada beberapa anggota dari kelompok tersebut yang dianggap bersalah (guilt). Lazimnya teori ini berlaku dalam dunia kejahatan. Katakanlah, satu saja seseorang bersalah karena kejahatan, maka orang-orang yang diasosiasikan sebagai satu kelompok dengan sang penjahat akan dianggap sebagai ‘penjahat’ juga (Youell, 2019). Dan stigma ini memang tidak memerlukan bukti, cukup hanya dengan prasangka (prejudice) yang pada akhirnya melahirkan fallacy (kekeliruan).
Dalam penerapannya, satu saja tenaga kesehatan terpapar COVID-19 dan meninggal dunia. Maka seluruh tenaga kesehatan akan dianggap sebagai ancaman dan mengalami stigma sebagai sumber penularan COVID-19. Sesuatu yang terlalu sembrono dan menihilkan peran mulia para nakes dalam penanggulangan COVID-19. Apalagi, protokol pencegahan penularan COVID-19 tentunya sudah dijalankan oleh para nakes.
Baca juga: Terima Kasih Tenaga Medis
Stigma dan viktimisasi yang sama terjadi di negara lain. Di Philippina contohnya. Seorang supir ambulance ditembak warga di Quezon Luzon karena warga takut ia membawa pasien covid-19. Seorang perawat ditolak pulang oleh warga lingkungannya di Metro Manila. Pada 27 Maret 2020 lima orang menyiram pekerja rumah sakit dengan cairan pemutih di Sultan Kudarat. Di Cebu City seorang perawat disiram klorin oleh pengendara motor. Di Visayas dan Metro Manila, tenaga kesehatan diusir dari apartemen, ditolak masuk supermarket, restoran, fasilitas laundry dan transportasi umum (Rubrico, 2020).
Tidak hanya di negara berkembang. Hal yang sama terjadi di negara maju. Di Vancouver, Canada, ada kisah supir taxi dan bank yang menolak melayani perawat (Buffam, 15/04/ 2020). Di Mexico, 150 orang mengancam petugas kesehatan di Axochiapan, Morales termasuk mengancam akan membakar direktur rumah sakit. Di Culiacan, Sinaloa, perawat diserang secara fisik dan verbal, bahkan ada yang menyiramkan cairan pemutih. Di Guadalaraja, enam perawat diserang dan didiskriminasi, termasuk ditolak naik kendaraan umum. Di RS Sabina Hidalgo, Nuevo Leon, Rumah Sakit Sabina Hidalgo dibakar oleh orang-orang tak bertanggungjawab (El Universal 16 April 2020).
Dalam kajian viktimologi, alias ilmu mengenai korban dan proses terjadinya korban (viktimisasi), para tenaga kesehatan tersebut dapat disebut sebagai ‘korban’ dalam teori general victimology ala Beniamin Mendelsohn (1976). Karena korban bukan hanya korban kejahatan seperti yang diteori-kan oleh Ezzat Fatah (1989) namun semua jenis korban, apapun penyebabnya. Apakah kejahatan, bencana alam, kecelakaan, bencana teknologi, pelanggaran HAM, penyalahgunaan kekuasaan, sampai korban akibat pandemi massif ini.
Apabila ditanyakan, siapakah pelaku? Maka pelaku-nya (victimizer) adalah sang coronavirus-19 itu sendiri. Sulit mencari pelaku lainnya. Namun apabila para nakes yang sudah terpapar COVID-19 kemudian mendapatkan stigma, diskriminasi, sampai serangan dan hinaan, maka pelaku re-viktimisasi ataupun secondary victimization–nya adalah tentunya masyarakat, individual, kelompok sosial hingga institusi tertentu.
Secondary victimization (atau reviktimisasi) adalah reaksi sosial negatif yang berlangsung setelah viktimisasi primer (kejadian pertama) yang berupa suatu tindakan atau sikap yang melanggar hak-hak daripada korban (Montada, 1994). Sering juga diartikan sebagai perilaku, sikap dan praktek-praktek yang menyalahkan korban (victim-blaming) yang dilakukan oleh masyarakat, yang menimbulkan trauma atau penderitaan tambahan kepada korban (stopvaw.org).
Viktimisasi oleh sang virus tentunya sulit dicegah. Kecuali ada yang sengaja melakukannya dengan tujuan kejahatan. Namun, re-viktimisasi oleh manusia kepada manusia lain (misalnya tenaga kesehatan) sangat bisa dicegah dan diantisipasi. Kuncinya adalah pengetahuan dan pemahaman yang mumpuni terhadap fenomena COVID-19, empati dan apresiasi terhadap profesi nakes, dan komunikasi yang lancar antara pihak pemerintah (pusat maupun daerah) dengan masyarakat. Ditambah lagi, perlu hadirnya kebijakan yang harmonis dan memberikan kepastian hukum terkait penanganan COVID-19 ini apakan di tingkat pusat maupun di level daerah.
Maka, daripada membuang waktu untuk mencaci maki suasana pandemic, yang tak mengubah apapun, marilah kita tebarkan hawa positif. Lebih baik menjadi penebar lilin dalam gelap. Kalau kita bukan seorang nakes dan tidak bisa menolong langsung para korban, minimal kita tidak menyulitkan, memberi stigma negative apalagi sampai melakukan diskriminasi dan kejahatan pada para Nakes. Lebih baik lagi apabila kita bisa mendukung kerja mulia mereka dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang layak, masker yang layak, serta turut memelihara diri dan keluarga dari bahaya dengan menjaga social distancing dan physical distancing.
Leave a Reply