Feeds:
Posts
Comments

Archive for February, 2013


Wajah Indonesia di Pentas Dunia 

Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor Bidang Human Rights and Peace Studies, Mahidol University, Thailand

Sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dan negara demokratis terpadat ketiga di dunia (setelah Amerika Serikat dan India), tak pelak posisi dan peran Indonesia dalam dunia internasional amat signifikan. Kendati demikian, banyak pihak memandang Indonesia masih kurang optimal dalam memainkan peran tersebut.

Misalnya dalam konflik Burma, banyak pihak berharap Indonesia dapat berperan banyak melalui lembaga ASEAN. Apalagi, sebagai negara anggota PBB yang kini memimpin sementara Dewan Keamanan PBB, posisi Indonesia amat signifikan.Sebagai negeri Muslim terbesar, peran Indonesia dalam wadah Organisasi Konferensi Islam (OKI) kurang terlihat, utamanya dalam turut menyelesaikan konflik di Palestina, Irak, Somalia, dan Afghanistan. Hal yang kurang lebih sama terjadi ketika Indonesia kini terpilih sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Mengapa Indonesia memainkan peran minimalis di ranah internasional?

Raksasa tidur
Philip Bowring dalam tulisannya di International Herald Tribune (30/11/07) menjuluki Indonesia sebagai raksasa siluman Asia Tenggara. Disebut raksasa siluman, karena menurut Bowring, sudut pandang Indonesia terhadap dunia internasional adalah luar biasa rendah, didukung pula oleh politisinya yang lebih banyak melihat ke dalam, dan minimnya pemimpin yang berani mengambil peran di panggung internasional.

Barangkali yang dibutuhkan Indonesia bukan semacam Presiden Iran Ahmadinejad, Presiden Venezuela Hugo Chavez, ataupun Presiden Bolivia Evo Morales yang amat artikulatif dalam menyuarakan isu-isu anti-kapitalisme dan anti-imperialisme AS. Namun Indonesia perlu profil pemimpin atau politisi yang berani memperjuangkan bangsanya juga bangsa-bangsa lain yang tertindas.

Uniknya, di tengah maraknya skeptisisme terhadap peran Indonesia, pada 12 November 2007 Indonesia mendapat Democracy Award dari International Association of Political Consultants (IAPC). Penghargaan ini diberikan terhadap seluruh rakyat Indonesia atas keberhasilannya menyelanggarakan pemilu langsung yang demokratis dan minim kekerasan pada 2004. Juga penghargaan terhadap ikhtiar seluruh rakyat untuk bangkit dari keterpurukan politik di era orde baru melalui reformasi 1998. Sedikit banyak, penghargaan ini adalah sebuah pengakuan bahwa bangsa dan negara Indonesia masih memiliki potensi.

Salah satu isu hangat di pentas ASEAN kini adalah Myanmar, yang juga akhirnya menyeret Indonesia karena suaranya nyaris tak terdengar. Padahal tidak seperti Singapura, Thailand, ataupun Malaysia, Indonesia tidak memiliki kepentingan bisnis terlalu dalam dibandingkan dengan tiga negara jirannya. Thailand adalah pengimpor utama gas alam Myanmar. Singapura adalah tempat bertetirah para jenderal Myanmar dan keluarganya, di samping salah satu investor terpenting di negara itu. Sebaliknya, Indonesia berada pada posisi independen, sehingga semestinya lebih leluasa dan berani dalam bersikap.

Bagaimana seharusnya Indonesia berperan di ranah internasional? Sesuai Pasal 3 Undang-Undang RI No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, politik luar negeri RI menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Pada Pasal 4 UU yang sama disebutkan juga bahwa politik luar negeri dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif.

Kata ‘bebas’ dalam politik luar negeri ini berarti Indonesia secara mandiri akan memutuskan dan menentukan posisinya dalam percaturan politik internasional tanpa pengaruh ataupun tekanan dari luar. Sementara itu, kata ‘aktif’ berarti bahwa Indonesia berkomitmen untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam membantu membangun dunia yang adil dan damai serta bebas dari kolonialisme.

Di masa silam, peran ini dimainkan betul ketika Indonesia menjadi salah satu sponsor Gerakan Non Blok. Bahkan, Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1955 dan prinsip Dasa Sila Bandung juga sampai kini masih menjadi acuan untuk negara-negara yang tak ingin menjadi bagian dari blok politik tertentu.

Tak cukup itu, pada tahun 1992 Indonesia kembali menjadi tuan rumah perhelatan akbar Konferensi Negara-Negara Gerakan Non Blok. Terakhir, pada peringatan 50 tahun KAA di Bandung tahun 2005, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sekali lagi menegaskan posisi Indonesia sebagai negara ‘non blok’ yang masih mengacu pada prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung.

Menanti peran aktif
Menjadi low profile saja bagi Indonesia tidak cukup. Pemimpin spiritual Afrika Selatan, Desmond Tutu mengatakan, “Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, maka Anda telah berpihak pada sang penindas. Jika seekor gajah menginjak ekor tikus dan Anda mengatakan bahwa Anda netral, maka sang tikus tidak akan pernah menghargai netralitas Anda.”

Dunia kontemporer masih sarat dengan gangguan terhadap keamanan dan perdamaian. Belum lagi masalah ketimpangan ekonomi, kemiskinan, kelaparan, hingga pemanasan global adalah masalah serius yang harus disikapi semua bangsa, termasuk Indonesia. Indonesia dengan segenap potensi demografi dan geografi, keterbukaan sistem politik, dan demokratisasinya, memiliki kapasitas yang mumpuni untuk berperan lebih aktif di dunia internasional.

Peran ini pernah dimainkan secara jenial di masa silam dengan segala keterbatasannya melalui wadah non blok. Apalagi UUD 45 dan politik luar negeri Indonesia sangat mendukung upaya ke arah itu. Minimalnya, Indonesia dapat berperan lebih aktif melalui wadah ASEAN. Organisasi ASEAN sedang mengarah menuju `blok ekonomi dan politik baru` melalui penandatanganan ASEAN Charter dan kawasan perdagangan bebas pada 2015. Namun, ASEAN pun menggenggam sejumlah masalah keamanan dan perdamaian, seperti halnya di Myanmar. Peran yang sama dapat dimainkan melalui wadah Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga PBB.

Read Full Post »

 

PATANI : PETERPAN, HUMVEE, DAN KECEK NAYU

Dunia Melayu di Tanah Siam

Oleh : Heru Susetyo1

Suara Ariel、 vokalis group musik Peterpan, yang melantunkan hit Ada Apa Denganmu mengalun dari pojok hypermarket. Beberapa pramuniaga pria yang bertugas di soundsystem section tampak menikmati lagu ini. Mereka turut bersenandung mengikuti hentakan vokal Ariel. Di Jakarta-kah? Bukan. Di Kuala Lumpur? Ternyata juga bukan. Ini pemandangan nyata yang kami jumpai di Big C Supercenter di kota Patani, provinsi Patani, Thailand Selatan pada awal Desember 2007..

Dan bukan hanya itu infiltrasi budaya Melayu di Patani. Jangan heran kalau di pasar tradisional Patani kita mudah menemukan lagu-lagu Indonesia dan Malaysia dijual oleh pedagang kaki lima. Yang menjadi favorit adalah lagu dangdut dan lagu pop romantis. Nama-nama seperti Krisdayanti atau Rhoma Irama sudah tak asing bagi telinga mereka. “Lagu-lagu dangdut Indonesia sangat populer disini. Orang disini suka dengan dangdut Indonesia,” ujar Sasudong Dosomy, warga asli Patani、 dalam bahasa Melayu. Tapi apakah mereka paham dengan artinya? Sekitar lima puluh persen saja bahasa Indonesia yang dapat mereka tangkap dan pahami melalui lagu. Selebihnya tak paham. Mereka senang dengan lagu Indonesia dan Malaysia karena di Patani sendiri tak banyak seniman ataupun penyanyi yang mewakili kultur mereka,” ujar Zakariya Amataya, warga asli Narathiwat yang tengah studi di Bangkok.

Sinetron dan film Indonesia juga termasuk yang diminati oleh warga Patani. Mereka mudah mengakses produk tersebut via antena parabola ataupun VCD yang dijual murah di pasar-pasar. Pada saat remaja Thai yang tinggal di Bangkok menggila-gilai film dan artis Korea, remaja dan pemuda Patani lebih condong pada artis Indonesia ataupun Malaysia. Tak perlu heran, karena di Malaysia-pun grup musik seperti Peterpan, Dewa 19, Samson, ataupun Ungu dan artis seperti Dian Sastro, Luna Maya, hingga Nia Ramadhani mendapat sambutan luar biasa besar dari warga muda Malaysia. Alasan kedua adalah, sebagai minoritas di Thailand, mereka tak memiliki cukup ruang untuk mengekspresikan kultur dan keseniannya. Tak ada stasiun TV Patani. Hanya beberapa radio lokal dengan siaran lokal berbahasa Melayu saja.

Sama halnya dengan busana harian. Kendati di hypermarket besar seperti Big C, yang hampir sama dengan Carrefour atau Giant di Indonesia, rata-rata pembelanja mengenakan busana muslim. Ada yang menggunakan sarung Samarinda, baju gamis (tob dalam bahasa Melayu Patani), ataupun baju koko (talo blago) . Yang wanita rata-rata menggunakan jilbab dan baju muslim yang bervariasi. Mulai dari yang berjilbab pendek, baju kurung ala Malaysia, hingga. yang mengenakan cadar (niqab) ada semua. Mereka yang tak berbusana muslimah adalah minoritas disini. Biasanya adalah warga Thai Buddhist ataupun Chinese Thai.

Namun ada satu pemandangan yang berbeda dengan hypermarket di Indonesia. Disini tentara berpakaian tempur dan menyandang senapan mesin M-16 tampak ikut berbelanja. Melihat-lihat barang sambil mengenakan kacamata hitam. Tak jelas apa tugasnya, mengamankan tempat atau karena memang ingin berbelanja.

Di luar hypermarket pemandangan lebih seram. Tentara berpatroli dengan menunggang humvee armoured vehicle (jeep tempur Amerika yang tersohor karena Perang Teluk) berseliweran dimana-mana. Hampir di setiap jalan besar, setiap beberapa kilometer, ada posko militer (military checkpoint) dan posko polisi (police checkpoint). Disana setiap kendaraan mesti berjalan pelan dan melapor pada penjaga posko. Persis kondisi di Aceh sebelum tsunami 2004.

Dunia Melayu di Tanah Siam

Kendati mereka adalah warganegara Thailand, sebagian besar masyarakat Patani, utamanya kalangan dewasa hingga tua, lebih banyak menggunakan bahasa Melayu Patani atau Kecek Nayu. Telinga Indonesia mungkin agak sulit menangkap percakapan dalam Kecek Nayu apabila mereka berbicara cepat. Namun apabila berbicara lambat, maka banyak kesamaan bahasa dengan Melayu Malaysia ataupun Bahasa Indonesia. Mereka menyebut `Babo` untuk memanggil `Bapak.` Menyebut `Toh Ayah` untuk memanggil Kakek dan `Siti` untuk memanggil `Nenek.` Menyebut dirinya sendiri sebagai Orae Nayu (orang Melayu). Warga Thai non muslim menyebut muslim sebagai `khek` (orang asing), walaupun belakangan panggilan ini jarang digunakan karena bertendensi merendahkan. Secara bahasa maupun kultural, Melayu Patani amat dekat dengan Melayu Kelantan (Malaysia). Karena secara geografis mereka bersisian dan secara historis adalah bagian dari kesultanan yang sama lima abad silam.

Warga Melayu Patani juga mengenal apa yang disebut dengan Bahasa Kampong dan Bahasa Tengoh ataupun bahasa tulisan. Bahasa Kampong adalah bahasa Melayu khas Patani yang digunakan penduduk sehari-hari. Bahasa ini sukar ditangkap telinga Indonesia. Bahasa Tengoh adalah bahasa Melayu yang biasa digunakan untuk keperluan formal seperti pada tulis menulis ataupun khutbah Jum`at. Kami mengikuti khutbah Jum`at di masjid desa Tiraya, Patani dan Sang Khatib menyampaikan khutbah dengan membaca buku khutbah dalam bahasa Melayu Tengoh. Amat mirip dengan bahasa Melayu Malaysia sehingga cukup akrab dengan telinga Indonesia.

Disamping bahasa percakapan, warga muslim Patani mulai kembali menghidupkan aksara Yawi(Arab Melayu) sebagai aksara dalam tulis menulis. Aksara Yawi menggunakan aksara Arab (huruf Hijaiyah) namun untuk menuliskan kata-kata dalam bahasa Melayu. Aksara Yawi dahulu sempat populer di negeri-negeri yang kini menjadi wilayah negara Malaysia, propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, hingga Sumatera Selatan, sebagian wilayah Kalimantan dan bagian Indonesia lain yang dahulu dikuasai oleh kesultanan-kesultanan Islam. Di hypermarket BigC Patani sendiri misalnya, kami menjumpai tulisan `Selamat Datang` dalam aksara Yawi berdampingan dengan `Selamat Datang` dalam bahasa Thai.

Warna budaya muslim Melayu memang sangat kental disini. Lebih dari budaya Thai Buddhist. Tidak hanya di Patani. Sejak kita mendarat di Hat Yai, propinsi Songkla, yang sering disebut sebagai pintu gerbang ke Patani, warna muslim Melayu sudah sangat terasa. Pemandangan para muslimah berjilbab, tua muda berseliweran dengan jalan kaki, naik motor tanpa helm, ataupun dengan angkutan umum amat mudah dijumpai. ”It`s a Malay world!” ujar Virginia, rekan peneliti asal Belgia, ketika ditanyakan impresi pertamanya terhadap Patani.

Memang, bagi mereka yang sering singgah ke Malaysia dan Aceh,  sepintas pemandangan di Patani tak jauh berbeda.  Yang menandakan bahwa ini masih wilayah Thailand hanyalah potret Raja Bhumibol yang masih bertebaran disana sini, juga bendera merah putih biru Thailand serta bendera kuning kerajaan yang bertengger di semua institusi formal. Yang unik, di kubah masjid Jami Patani, dipasang pula bendera Thailand persis di bawah tiang bulan bintang.

Tak jelas siapa mendominasi siapa. Sepertinya profil Melayu di Patani kerap bertukar kultur dengan Melayu di Malaysia ataupun Indonesia. Warga Melayu Patani juga akrab dengan pakaian batik (dengan bahasa yang sama : batik) dan dengan kesenian wayang. Untuk keperluan ibadah, banyak warga Patani yang mengenakan sarung asli Samarinda. Bahkan, menurut Sasudong Dosomy, salah satu kontribusi positif muslim Indonesia ke Patani adalah mengenalkan metode pembelajaran Al Qur`an ala qira`ati. ”Sejak metode qiraati diperkenalkan di Patani, banyak anak kecil yang sudah dapat membaca Al Qur`an. Dahulu dengan metode konvensional belajar Al Qur`an terasa sukar,” ujar Sasudong.

Apa dan Siapa Patani

Apabila kita menyebut nama `Patani` (atau `Pattani` dalam bahasa Thai) maka harus jelas dalam konteks apa. Karena nama Patani bisa punya empat makna : kota Patani, propinsi Patani, kesultanan Patani ataupun Patani Darussalam (Patani Raya). Kota Patani dan Propinsi Patani adalah bentukan pemerintah Thailand. Kesultanan Patani adalah kerajaan Islam Patani yang sempat eksis sejak pertengahan abad 16 hingga awal abad 20 (sebelum dipaksa bergabung dengan Siam/ Thailand). Istilah Patani Darussalam atau Patani Raya adalah istilah tidak resmi untuk gabungan dari empat propinsi mayoritas muslim di Selatan Thailand yaitu Patani, Yala, Narathiwat,  dan sebagian Songkla. Sebenarnya dua provinsi selatan Thailand lain yaitu Satun dan Trang adalah berpenduduk mayoritas muslim. Namun karena secara kultural dan historis mereka lebih dekat ke kultur Thai, maka tak tergabung dalam Patani Darussalam.

Asal usul nama `Patani` cukup unik. Berdasarkan cerita rakyat setempat (folklore) nama Patani ditemukan oleh Sultan Ismail Shah, raja Patani ketika itu, ketika ia tengah mencari calon ibukota kerajaan. Ketika tiba di wilayah (yang sekarang bernama Patani) ia menyebut : ”Pantai ini” (karena memang Patani berada di tepi laut teluk Thailand), dan akhirnya menjadi `Patani` dalam bahasa orang setempat.

Kerajaan Patani masa silam bertahan sekitar lima abad sejak awal abad 16 hingga awal abad 20. Saat itu Patani adalah kerajaan Islam terpandang di Asia Tenggara, bersama-sama dengan kesultanan di Semenanjung Malaya, Aceh dan pantai timur Sumatera. Patani mulai dikenal dunia barat ketika petualang Portugis Godinho de Eradia mendarat di Patani pada tahun 1516.

Patani sempat berjaya pada era Sultan Muzaffar Shah (pertengahan abad 16). Sultan ini mendirikan masjid pertama di provinsi Patani yang berarsitektur Timur Tengah. Masjid ini bernama ‘Krisek‘ atau ‘Krue Se‘ dalam bahasa Thailand. Hingga kini masjid Krue Se masih berdiri di tepi jalan raya Patani dan tetap digunakan untuk beribadah. Masjid ini sebenarnya sederhana. Hanya berupa masjid kecil yang disusun dari ribuan batu merah tanpa plesteran. Namun nilai historisnya luar biasa. Sejak tahun 1935 diabadikan sebagai monumen bersejarah oleh Kementerian Pariwisata Thailand. Maka, bagi siapapun turis yang ke Patani, menjadi semacam `kewajiban` untuk melongok tempat ini.

Zaman keemasan Patani berlanjut pada era empat Ratu Patani yang memerintah sejak tahun 1584 masing-masing adalah Ratu Hijau, Ratu Biru, Ratu Ungu, dan Ratu Kuning. Ketika itu kekuatan ekonomi dan militer Patani begitu dahsyat hingga bisa melawan empat kali invasi kerajaan Siam dengan bantuan Kesultanan Pahang dan Johor (kini bagian dari Malaysia). Suatu bukti bahwa pemimpin muslimah zaman dahulu begitu perkasa.

Patani mulai mengalami keruntuhan setelah era Ratu yang keempat pada abad 17. Sultan Muhammad yang berkuasa ketika itu terbunuh dalam pertempuran melawan kerajaan Siam dan kota Patani dibumi hanguskan. Empat ribu orang rakyat Patani kemudian diperbudak dan dibawa ke Bangkok untuk membuat khlong (kanal-kanal air/ sungai).

Pada tahun 1902, Pattani secara resmi dianeksasi oleh Siam. Tujuh tahun kemudian Perjanjian Bangkok antara Inggris (Great Britain-penguasa Malaya ketika itu) dan Siam menetapkan bahwa Patani secara resmi diakui di bawah kedaulatan Siam, dan negeri Kelantan secara resmi diserahkan kepada Inggris (pada tahun 1957 Kelantan bergabung dalam Federasi Malaysia).

Konfik di Patani

Konflik di Patani, Yala, dan Narathiwat sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Sama tuanya dengan ketika ketiga propinsi tersebut dilebur ke dalam kerajaan Siam secara sepihak pada tahun 1909.  Berbagai organisasi perlawanan muncul di Patani dan sekitarnya apakah dengan nama PULO (Patani United Liberation Organization), BERSATU, BRN, BNP, BNPP, GMIP, ataupun RKK (Runda Kumpulan Kecil). Oleh pemerintah Thai mereka dicap sebaga gerakan militan separatis dan belakangan, pasca tragedy 9/11, dicap sebagai teroris yang dianggap berhubungan dengan Al Qaida dan Jama`at Islamiyah (JI). Suatu klaim yang sukar dibuktikan. Tapi bahwasanya mereka punya hubungan dengan Libya, MILF di Mindanao Philippina dan GAM di Aceh, tidaklah terlalu salah.

Kendati ratusan konflik telah lama melanda Patani. Konflik pasca tragedi 9/11 berlangsung lebih buruk. Konflik berskala meluas dan massif berlangsung mulai Januari 2004 di Narathiwat ketika gudang senjata dan amunisi tentara Thailand diserbu kelompok militan. Dilanjutkan dengan penyerbuan Masjid Krue Se di Patani pada April 2004  yang menewaskan 31 aktivis muslim dan penganiayaan di Tak Bai, propinsi Narathiwat pada 25 Oktober 2004 yang menewaskan 78 warga muslim.  Kedua peristiwa tersebut menambah eskalasi konflik Thailand Selatan dan memaksa pemerintah Thai era Thaksin berpikir keras cara mengintegrasikan warga Thai beretnis Melayu (yang tak pernah merasa sebagai orang Thai ini) ke dalam Negara Thailand yang mayoritas Buddhist.

Menurut Sutthida, warga Thai Buddhist asli Patani konflik mulai meninggi pasca 9/11 dan sejak tahun 2004. “Sejak dahulu sebenarnya sudah ada konflik. Namun hanya menyerang tentara dan polisi saja. Namun entah mengapa sejak tahun 2004 sudah mulai mengorbankan rakyat sipil. Termasuk guru, monk (pendeta Budha), ulama Islam, bahkan anak kecil.”

Sutthida tak habis pikir, kini kehidupan di Patani tak lagi nyaman baginya. “Dulu ketika saya masih kecil, kami hidup bertetangga dengan rukun dengan tetangga kami yang muslim. Orangtua saya sering menyumbangkan makanan untuk buka puasa orang muslim ketika Ramadhan. Merekapun datang ke tempat kami ketika ada perayaan Buddhist. Saya punya banyak teman orang muslim ketika kecil. Kami bersekolah dan bermain bersama-sama. Kini yang tertinggal di Patani hanyalah saling curiga dan tak percaya. Sesama muslim sekalipun,” ujarnya dalam bahasa Inggris yang sangat lancar.

Sampai kini konflik masih berlangsung. Terjadi sekitar 2300 insiden yang menelan korban tewas 2500 jiwa sejak awal 2004 hingga kini. Bahkan, pada akhir November 2007, sebuah karaoke dibom oleh orang tak dikenal di luar kota Patani hingga tujuh orang tewas. Bulan Agustus 2007 dua rumah dibakar di desa Tiraya, tak jauh dari kota Patani.  Penduduk hidup dalam cengkeraman ketakutan.  Kendati kehidupan sepintas lalu berjalan normal. Mahasiswa tetap pergi kuliah ke kampus, pedagang berjualan ke pasar, pegawai bekerja di kantor, jama`ah shalat tetap pergi ke masjid.  Namun setelah maghrib kondisi berubah,  jalanan menjadi makin lengang, kedai menjadi semakin sepi. Minoritas China dan Buddhist tak tampak di jalan-jalan umum.   Sekali lagi, mirip Aceh di era sebelum tsunami 2004 dan Perjanjian Helsinki.

Konflik Patani secara tak langsung mengusir warga Thai non muslim keluar dari ketiga provinsi tersebut.  Juga mengusir warga muslim Patani sendiri yang bingung mengungsi kemana. Mengungsi ke Bangkok tak lebih baik karena juga tak merasa sebagai negeri sendiri.  Ke Malaysia kendati secara kultural sama, namun juga mengundang masalah karena negaranya berbeda dan tak cukup ramah menampung ’pendatang haram.’. Sebagian kecil pengungsi akhirnya memang mengungsi ke Malaysia hingga kini.

Konflik membuat warga Patani kesulitan pulang kampung ke rumahnya sendiri. Hafidz,seorang muslim asli Patani, dan Lek seorang Buddhist asli Yala, Mengaku bahwa apabila mereka ingin pulang ke kampong mereka di Betong, Yala, harus memutar dahulu melalui Negara bagian Perlis dan Kedah di Malaysia sebelum tiba di Betong, yang memang berbatasan dengan Kedah. Mereka takut melalui Patani dan Yala yang sebenarnya jauh lebih dekat. “Ini demi keamanan, walaupun saya asli Betong, Yala, tapi saya minoritas Buddhist disana. Maka lebih baik memutar via Malaysia, jauh lebih aman,” ujar Lek.

Kampus Prince of Songkla University (PSU), Patani Campus, kini 90% mahasiswanya muslim dari ketiga provinsi sekitar.  Padahal dahulu sebelum konflik, mahasiswa dari seantero Thai yang berbeda agama datang studi kesana.  Tak heran, pemandangan di PSU Patani Campus mirip dengan kampus Indonesia .  Banyak mahasiswi berjilbab, ada masjid, ada banyak tempat shalat, makanan semua halal. Sangat berbeda dengan wajah kampus-kampus di Bangkok .

Kendati infrastruktur Patani amatlah baik, jalan luas dan mulus, listrik dan lifelines tersedia. Jauh lebih baik dari Aceh dan propinsi terpencil Indonesia lainnya. Tapi tidaklah lebih baik dari propinsi Thai yang lain.  Patani, Yala, dan Narathiwat adalah di antara provinsi termiskin di Thailand.

Sekitar 69.80% warga muslim di tiga propinsi tersebut hanya mengenyam pendidikan dasar (sementara warga Thai Buddhist sekitar 49.6%). Hanya 9.20% yang menamatkan sekolah menengah (Thai Buddhist sekitar 13.20%). Dan hanya 1.70% yang bergelar sarjana (bandingkan dengan Thai Buddhist yang 9.70%). Alasan utama rendahnya angka melek sekolah ini adalah karena mereka enggan bersekolah di sekolah Thai. Alih-alih di sekolah Thai, sebagian dari mereka lebih suka menyekolahkan anaknya ke Malaysia ataupun Indonesia. Tak heran, mudah menemukan warga Patani di Gontor, Yogyakarta ataupun di LIPIA dan UIN Jakarta.

Jumlah muslim yang bekerja sebagai pegawai pemerintah juga amat rendah. Hanya 2.4% berbanding dengan 19.2% warga Thai Buddhist. Pekerjaan di pemerintah amat sulit didapatkan bagi mereka yang tak berbahasa Thai dan tak pernah mengenyam sistem pendidikan Thai.

Ada banyak cerita tentang Patani, kisah tentang semangat kaum minoritas bertahan di tengah mayoritas.  Perjalanan kebingungan menentukan jatidiri. Wajah kekerasan yang menahun dan melegenda. Ketidakpastian dan kecemasan yang selalu mendominasi hari-hari.  Hidup terasing di negerinya sendiri. Patani memang terbilang dekat dari Bangkok, tapi bagi sebagian besar warga Thai terasa begitu jauh (di hati). Karena, Patani adalah Dunia Melayu di Tanah Siam.

Wallahua�lam

Salaya, Nakhorn Pathom 13 Desember 2550 (Tahun Siam)

 

 

Read Full Post »

TAHUN KUNJUNGAN WISATA 2008, SIAPKAH?

 

Heru Susetyo

Mahasiswa Program Doktor bidang Human Rights and Peace Studies

Mahidol University, THAILAND

 

Tahun 2008 baru saja dijelang. Ada yang spesial kali ini. Pemerintah mencanangkan tahun 2008 sebagai tahun kunjungan wisata (Visit Indonesia Year-VIY).  Indonesia pernah mencanangkan Visit Indonesia Year 1991, yang ketika itu mendongkrak jumlah wisatawan 400.000 jiwa saja daripada tahun sebelumnya. Maka, ketika di tahun 2008 ini VIY dicanangkan kembali sewajarnya kita patut berbangga. Karena negara ini masih memiliki semangat, percaya diri, dan optimisme untuk menjadi daerah tujuan wisata.  Namun, keberanian ini sekaligus mengundang pertanyaan, seberapa siap kita menghela gawean akbar tersebut?.  Apalagi dengan tema yang cukup menantang : `visit Indonesia year 2008, memperingati seratus tahun kebangkitan nasional` (celebrating 100 years of national awakening).

Mudah-mudahan pencanangan ini bukan semata-mata karena provokasi Malaysia. Malaysia menjadikan tahun 2007 sebagai tahun kunjungan wisata dengan tema akbar : ”memperingati limapuluh tahun kebangsaan Malaysia (nationhood)”. Karena, persis pada tahun 2007 Malaysia memperingati lima puluh tahun kemerdekaannya.Dan kita tahu, Malaysia memaknai betul tahun kunjungan wisata ini dengan berinvestasi dan berpromosi besar-besaran lintas negara.

Pertanyaan tentang Kesiapan Indonesia

Bagaimana dengan kita? Paling tidak ada sejumlah pertanyaan tentang kesiapsiagaan bangsa dan negara ini untuk menyongsong tahun kunjungan wisata. Bukan suatu kebetulan bahwa pencanangan tahun kunjungan wisata 2008 adalah bertepatan dengan peringatan tiga tahun tsunami Aceh-Sumut, yaitu pada 26 Desember 2007 (Media Indonesia, 28/12/07). Alias, memori dunia pada Indonesia masih sangat terbayang pada negeri yang luluh lantak karena terjangan gempa dan ombak yang maha dahsyat. Juga, pekan-pekan ini adalah musim-musim terjadinya bencana di Indonesia, apakah banjir, tanah longsor, pohon tumbang, gelombang pasang, dan lain-lain.  Apabila kita menonton siaran TV asing pekan-pekan ini, maka berita tentang Indonesia tak lebih daripada bencana alam, epidemi flu burung, ataupun kecelakaan transportasi. Sungguh bukan suatu promosi yang baik untuk para calon turis.

Maka, pertanyaan pertama adalah bagaimana mereduksi stigma Indonesia sebagai negari rawan bencana (disaster prone country). Hal ini menjadi penting, karena wisatawan, apakah lokal maupun mancanegara, hanya akan datang ketika mereka merasa yakin akan keselamatan dan kenyamanan mereka. Kenyamanan juga berawal dari pintu masuk.  Sebagai contoh, jangankan berlabuh ke Pantai Anyer, Pelabuhan Ratu, ataupun Pangandaran, terkadang untuk keluar dari Bandara Soekarno Hatta saja sudah persoalan besar, karena terhadang bencana banjir di jalan tol yang berujung pada  kemacetan yang dahsyat.

 

Tengoklah juga, betapa terpukulnya ribuan pengusaha jasa perhotelan dan pariwisata di pantai Anyer, Carita, Pelabuhan Ratu, Parangtritis, hingga di Bali, akibat gelombang pasang yang berdampak menyusutnya wisatawan akhir-akhir ini.Padahal, liburan Natal dan Tahun baru adalah saat-saat emas menuai rupiah dari kocek wisatawan.

Pertanyaan kedua adalah bagaimana mereduksi stigma Indonesia sebagai negeri yang rawan terorisme dan kriminalitas. Tidak hanya rawan bagi bagi turis asing, namun juga turis lokal. Memang, besaran terorisme Indonesia belum menandingi Irak, Irlandia Utara, ataupun Pakistan yang bergelimang teror bom dan kekerasan, namun cukup membuat ngeri negeri-negeri asing. Kedubes Amerika dan Australiaadalah diantara perwakilan negara asing  yang rajin merilis travel warning untuk warganya yang hendak bertandang ke Indonesia. Peristiwa Bom Bali, bom JW Marriot, bom Kedubes Australia Rasuna Said, rentetan konflik di Poso, Ambon, hingga Papua tak pelak telah mendera pariwisata bangsa. Cukup lama luka ekonomi, sosial dan budaya yang menganga akibat kekerasan tersebut harus disembuhkan.

Maraknya kriminalitas juga mesti cepat disikapi.  Beberapa peristiwa yang menimpa tamu asing seperti kriminalitas di Bandara, penganiayaan di dalam taksi, pencopetan hingga penipuan di kota besar sungguh bukan promosi yang sedap bagi pariwisata Indonesia.  Berbusa-busanya promosi pariwisata di luar negeri akan tenggelam begitu saja dengan kabar dari mulut ke mulut tentang turis Jepang yang dirampok dan dianiaya di dalam taksi selepas Bandara Soekarno Hatta, misalnya.

Pertanyaan ketiga adalah bagaimana menyikapi realita bahwa Indonesia sarat dengan epidemi dan bencana kesehatan semisal flu burung ataupun SARS. Karena, cukup banyak calon wisatawan asing yang membatalkan kunjungannya ke Indonesia hanya karena isu meluasnya flu burung ataupun buah dari menonton siaran TV tentang Indonesia yang melulu berkisah tentang flu burung.

Pertanyaan keempat adalah sejauh mana Indonesia mumpuni dalam hal ketersediaan  fasilitas dan sarana penunjang pariwisata. Bagaimana ketersediaan alat transportasi, kemudahan berkomunikasi, akses terhadap pos, bank, internet,money changer, ATM, tourist information center, ketersediaan peta lokasi pariwisata, dan lain-lain, yang harus betul-betul diperhatikan.

Dalam hal kemudahan transportasi, Bandara Soekarno Hatta adalah contoh yang buruk. Lebih dari dua dekade usianya namun bandara ini hanya dapat ditempuh dengan mobil. Itupun terancam dengan banjir di jalan tol di musim penghujan. Belum ada moda transportasi lain semisal kereta api ataupun MRT. Sebagai perbandingan, KL International Airport yang masih berusia muda sudah memiliki akses transportasi express train yang langsung terhubung dengan pusat kota. Bandara Suvarnabhumi Bangkok, belum genap dua tahun usianya, namun tak lama lagi akan memiliki MRT yang terhubung langsung ke pusat kota, disamping jalan tol luas berlajur delapan yang sudah lama dibuka. Penumpang-pun diberi banyak pilihan dalam memilih angkutan umum, apakah airport bus, bus kota biasa, taxi, hingga limousine taxi dengan biaya yang amat terjangkau.

Ketersediaan layanan perbankan, ATM, dan money changer tak kalah pentingnya. Di Thailand, beberapa bank yang memiliki cabang di mall membuka layanan di hari Sabtu dan Ahad. Perangkat ATM dan layanan money changer begitu banyak dan tersedia hampir di semua tempat-tempat publik seperti pasar, terminal, stasiun, dan hampir di semua lokasi wisata.

Selanjutnya adalah ketersediaan informasi dalam bahasa asing seperti bahasa Inggris, misalnya.  Begitu banyak rambu-rambu lalu lintas, papan informasi, peta, hingga brosur tempat wisata yang hanya menyajikan informasi dalam bahasa Indonesia.  Jelas, akan menimbulkan kesulitan bagi wisatawan mancanegara yang tak pandai berbahasa Indonesia. Belum lagi, tidak semua personil di lokasi wisata lancar berbahasa Inggris.  Bandingkan dengan Thailand, kendati warganya juga banyak yang gagap berbahasa Inggris, namun hampir semua rambu-rambu lalu lintas, papan informasi, hingga brosur tempat wisata menyediakan informasi tambahan dalam bahasa Inggris. Disamping bahasa Thai yang menggunakan aksara Pali.  Di Penang Malaysia, bahkan, demi mengakomodasi penduduk Penang yang multietnis dan para wisatawan asing, papan informasi tersedia dalam empat bahasa : Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil

Pusat informasi wisata (tourist information center) adalah juga hal yang penting.  Di Bandara Suvarnabhumi Bangkok terdapat beberapa Tourist Information Center dan Tourist Police yang siaga setiap saat melayani tamu asing.  Di pojok-pojok penting kota Bangkok tersedia banyak tourist information center  dengan petugas yang lihai berbahasa Inggris dan siap memberikan peta jalan dan bis kota secara cuma-cuma.  Sebaliknya, tamu asing yang ingin menggunakan bis kota di Indonesia akan bingung karena tak tersedia banyak pusat informasi turis, tak jelasnya peta rute bis, tak jelas metode pembayaran tiket-nya, dan tempat perhentian bis yang seenaknya.

Pertanyaan kelima adalah tentang kesiapan budaya dan mental menghadapi tamu-tamu asing ataupun tamu berbeda daerah.  Thailand melansir slogan negerinya sebagai `land of smile`.  Mengklaim bahwa warganya murah senyum, ramah, dan bersahabat dengan tamu asing. Di taksi-taksi Bangkok, misalnya, ditempeli stiker we love farang (orang asing), we can speak English. Dan ini cukup efektif, karena kendati teror bom dan kudeta terus menghinggapi Bangkok, namun toh turis asing tak perduli, tetap berdatangan.  Negeri Indonesia sudah sejak lama, minimal dalam buku pelajaran SD, mengklaim dirinya sebagai negeri yang ramah tamah, namun kenyataannya jauh panggang daripada api. Masih banyak ditemukan pelayanan yang lambat, mahal senyum dan kurang professional dari penyelenggara jasa wisata.

Pertanyaan keenam adalah kesiapan promosi dan investasi untuk tahun kunjungan wisata 2008 ini.  Malaysia mengucurkan sekitar US$80 juta untuk Visit Malaysia 2007. Sementara untuk VIY 2008, pemerintah RI hanya mengucurkan dana promosi US $ 10-15 juta.  Tak heran, begitu mudah menemukan iklan pariwisata Malaysia di media-media Indonesia sepanjang tahun 2007. Sama halnya dengan Singapura, pariwara `great Singaporean sale` mewarnai banyak media Indonesia sepanjang tahun 2007.  Hebatnya lagi, ekspansi Malaysia tak berhenti sebatas iklan koran, billboard berukuran raksasa bertema Visit Malaysia 2007 berdiri tegak justru di pintu masuk Thailand, yaitu di Bandara Suvarnabhumi Bangkok dan Bandara Phuket, barat laut Thailand.

Zen Umar Purba dalam kolomnya di Media Indonesia (31/12/07) menyajikan hasil survey peraturan menyangkut investasi asing di 178 negara yang dimuat dalamDoing Business 2008 yang dilansir World Bank. Hasilnya cukup menyedihkan. Dalam hal kemudahan melakukan bisnis, Indonesia menduduki peringkat yang kurang bagus, 123.  Jauh di bawah negeri jiran Singapura (peringkat 1), Thailand(15), Malaysia (24), ataupun Vietnam (91). Juga kalah dengan negeri-negeri sarat masalah di Afrika seperti Namibia (43), Kenya (72), Ethiopia (102), Nigeria (109), ataupun Uganda (118).  Sungguh suatu promosi yang buruk untuk merangsang investasi asing di bidang pariwisata di Indonesia.

Pertanyaan ketujuh adalah dukungan dari eksponen pemerintah, swasta, dan masyarakat.  Semua perwakilan Malaysia di luar negeri mendukung kampanye akbar Visit Malaysia 2007. Semua berperan sebagai marketer sekaligus information center. Mahasiswa Malaysia yang tengah studi di luar negeri juga dilibatkan untuk mendukung program ini melalui pentas budaya ataupun keterlibatan dalaminternational cultural events. Maskapai penerbangan Malaysia, apakah MAS ataupun AirAsia turut menjadi duta-duta bangsa dalam mempromosikan tahun kunjungan tersebut.   Bagaimana keterlibatan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat Indonesia?

Pelajaran dari Thailand, Singapura, dan Malaysia

Tak perlu belajar jauh-jauh ke Emirat Arab, Jepang, ataupun Swiss dalam hal mendulang wisatawan asing.  Negeri jiran Thailand, Singapura, dan Malaysia adalah tempat belajar yang baik.  Malaysia dengan promosi Truly Asia-nya mampu menjaring 10,6 juta turis dengan pertumbuhan 24,4 persen per tahun. Thailand mampu menarik kunjungan 10,1 juta turis dengan pertumbuhan rata-rata 8,3 persen. Negeri mini Singapura  yang tak lebih besar dari DKI Jakarta mampun menjaring 6,1 juta turis (pertumbuhan 4,9 persen). Sementara, Indonesia dengan 4,4 juta turis serta pertumbuhan 1,6 persen, jauh tertinggal dari Vietnam yang mencapai angka pertumbuhan 15 persen per tahun (LNI Community, 28/9/07).

Sejatinya, dibandingkan dengan tiga negeri jiran, Thailand, Singapura, dan Malaysia, sejatinya Indonesia sungguh tak terkalahkan dari sisi kekayaan budaya dan lokasi wisata. Ketika Thailand hanya menawarkan keindahan pantai Phuket, Krabi, Phang Nga, Koh Samui, Pattaya, Ayyutthaya, dan Chiang Mai, Malaysia dengan pulau Langkawi, Pulau Pinang, Cameron Highlands, Genting Highlands, dan Labuan, Singapura hanya dengan iming-iming surga belanja, maka Indonesia memiliki banyak pilihan dan tawaran yang jauh lebih menarik.

Mulai dari kekayaan kultural Aceh, indahnya Danau Toba, panorama alam Danau Singkarak dan budaya Minang, keindahan pantai Carita dan Anyer di Banten, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, kemegahan candi Borobudur-Prambanan, eksotisme Kraton Yogyakarta dan Surakarta, kekayaan alam dan budaya Bali-Lombok, pulau Komodo, taman nasional dan suaka margasatwa orang utan di Kalimantan, pasar terapung di Banjarmasin, Danau Poso di Sulteng, Bunaken di Manado, taman laut Banda, kekayaan coral di kepulauan Raja Ampat Papua, hingga puncak-puncak Jayawijaya di Papua, menyajikan ribuan alternatif kunjungan wisata yang sungguh berbeda satu sama lain.

Apabila Thailand hanya menawarkan warisan budaya Siam, Ayyuthaya, dan Khmer,  Malaysia hanya dengan warisan budaya Melayu, Portugis, dan Inggris, Singapura dengan budaya Tionghoa, Peranakan, India dan Melayu, maka turis asing sungguh dibuat bingung dengan Indonesia. Karena terlalu banyak alternatif warisan etnis dan kultur yang ditawarkan dengan karakteristik yang seringkali sangat berbeda.

Namun, mengapa pariwisata Indonesia terpuruk dibandingkan ketiga negeri jiran tersebut? Sekali lagi bukan karena Indonesia tidak cantik dan tidak layak untuk dikunjungi. Permasalahan ada pada antara lain masalah keseriusan dan kreativitas.

Keseriusan. Bagaimana caranya bangsa dan negara ini mengelola pariwisata secara serius.  Menata alam maupun kultur. Bersikap profesional sekaligus berinvestasi besar dan tepat di bidang pariwisata.  Salah satu contoh keseriusan adalah Malaysia dengan Pulau Sipadan-nya.  Pulau kecil di timur Kalimantan Timur ini kini adalah salah satu tujuan wisata utama Malaysia di negara bagian Sabah. Padahal, hingga tahun 2002 pulau ini belum jelas milik siapa, akibat sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia. Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, akhirnya memutuskan Sipadan (dan Ligitan) menjadi milik Malaysia, dimana salah satu alasannya adalah Malaysia terbukti lebih mengurusi dan memelihara pulau tersebut dibandingkan Indonesia.  Padahal, klaim hukum dan historis kedua negara tersebut sama-sama kuat.

Berikutnya adalah masalah kreativitas. Karena pariwisata tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan masalah pendidikan, ekologi, kesehatan, ataupun event-event internasional. Sebagai contoh, warga Indonesia datang ke Malaysia dan Singapura tidak sekedar untuk belanja dan menonton Grandprix F-1 di Sepang, tapi juga untuk sekolah dan berobat.  Dalam lima tahun terakhir, ribuan mahasiswa Indonesia, kebanyakan dari Sumatera dan Jawa membanjiri kampus-kampus Malaysia untuk belajar. Juga ribuan lainnya berobat di rumah sakit internasional di Penang, Kuala Lumpur, ataupun ke Singapura.

Selanjutnya adalah bagaimana mengemas pariwisata melalui tema-tema cerdas semisal `truly Asia` -nya Malaysia, `Land of Smile`-nya Thailand, ataupun `Great Singaporean Sale`-nya Singapore. Karena, mengemas pariwisata tak sekedar menonjolkan kekayaan alam semata, tapi bagaimana mengemas citra, menyajikan kenyamanan dan keamanan, menyuguhkan pelayanan yang tulus dan profesional, harga yang bersaing, yang kesemuanya berawal dari keseriusan bangsa dan negara bahwasanya pariwisata adalah sesuatu yang penting,  penting bagi devisa negara sekaligus penting sebagai manifestasi harga diri bangsa.

Sukseskan Visit Indonesia Year 2008 !

Bangkok, 9 Januari 2008

Read Full Post »

HAPPY VALENTINE !
For personal reasons, saya tak punya tradisi merayakan Valentine. Kendati saya pernah merayakan Valentine ketika SMP dan SMA dua puluh tahun silam.  Kendati saya pernah sehari menggunakan baju dan setelan pink demi memaknai hari kasih sayang. Kendati saya pernah memberi hadiah khusus untuk orang-orang tertentu. Dulu. Dua puluh tahun silam.

Saya hanya ingin berbagi.  Bahwasanya berbagi hadiah, berbagi perhatian, berbagi senyum, ,berbagi tawa, berbagi canda, dan berbagi hati itu penting.  Abraham Maslow, psikolog kondang itu pernah berteori bahwa manusia memiliki lima hirarki kebutuhan. Mulai dari kebutuhan psikologis, keamanan, cinta, keyakinan diri dan aktualisasi dari.  Karena manusia adalah manusia, bukan robot apalagi mutan. I am only human, from flesh and blood I made, tutur sebuah lagu.

14 Februari 2008 ini teman-teman satu program saya di kampus Mahidol, Nakhorn Pathom memaknai Valentine dengan berbagi hadiah.  Mereka berasal dari Thai, Laos, Philippine, Jepang,Australia, Swedia, Indonesia, Nepal, Pakistan, dan Burma. Sebagian besar  adalah Buddhist. Seorang teman membagikan buah-buahan. Kami semua mendapat jambu air dan jeruk secara merata. Boleh mengambil sebanyak apapun. Nyam nyam. Jambu air Bangkok terkenal dahsyat rasanya. Teman lain membagi-bagikan cokelat. Ajarn (professor) kami bahkan mendapat hadiah special.  Bunga mawar merah.  Hmm, say it with flower !

Saya jadi malu sendiri.  Karena saya tak membawa barang apapun untuk dibagikan. Karena saya memang tak merayakan Valentine. Dan bukan sekali ini teman-teman saya berbagi hadiah. Pernah suatu hari Khun Wanee, kawan Thailand saya, tiba-tiba membagi-bagikan tas LSM-nya secara Cuma-Cuma. Esok harinya ia membagi sayuran nikmat racikan tetangganya untuk dimakan bersama kami saat lunch. Esok harinya lagi ia membawa buah-buahan. Lagi-lagi dibagi-bagikan dengan cuma-Cuma.  Khun Suwan, juga orang Thailand, lain lagi. Ia rajin membagi-bagikan coklat dan juga buah-buahan. Tak tentu waktunya. Namun sering. Khun Medaphan, lagi-lagi orang Thailand, sama halnya. Ia tahu-tahu membagi-bagikan calendar UNHCR kepada kami semua secara cuma-cuma. Vatchanaphone, kawan Laos kami, sama juga. Tahu-tahu pada suatu hari ia memberikan souvenir dari Laos. Jelas Cuma-Cuma.

Dan bukan sekedar mahasiswa. Ajarn kami juga punya kelakuan yang sama. Ajarn Scott, demikian kami memanggil dia, seorang Amerika, seusai memberikan kuliah dalam tiga sesi tiba-tiba  membuka tasnya dan memberikan kue cokelat, semacam brownies kepada kami semua. ”I made it by myself this morning,” ujarnya bangga.

Lagi-lagi saya malu. Kok saya jarang berbagi hadiah ya?

Hari ini Valentine Days. Mahasiswa undergraduate Mahidol merayakan dengan caranya masing-masing. Mahasiswa Buddhist, the devoted one, berdoa di ruang mahasiswa Buddhist. Mahasiswa Thai Christian, merayakan dengan makan, pesta balon, dan doa bersama di ruang mahasiswa Kristen. Mahasiswa club Pengmas (Pengabdian Masyarakat) mematikan lampu ruangannya. Memasang lampu-lampu berbentuk hati. Bermain gitar. Bercanda ria. Lalu pesta makan-makan.Persis di samping ruang Muslim Study Club.  Apa makna Valentine bagi mereka? Tak paham, tapi kelihatan betul mereka happy.

Tentunya kita tak harus berbagi hadiah, berbagi senyum, berbagi tawa, berbagi suka, dan berbagi hati di hari Valentine saja. Tapi, terkadang di 364 hari yang lain-pun kita tak juga melakukannya. Mulut kita kelu untuk menarik kedua sudut bibir. Untuk tersenyum. Air muka kita sering keruh. Tangan kita berat untuk memberi. Hati kita agak tertutup untuk sekedar berbagi cahaya hati. Lalu dimana kelebihan kita dibandingkan mereka yang merayakan Hari Valentine?

”Saling berbagi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai; dan saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang rasa dendam dari diri kalian. ( HR Ibn ‘Asakir)”

Satu penelitian menyebutkan bahwa bayi yang sering disentuh Ibunya maka otaknya lebih cepat bekerja, ikatan antara sel-sel otaknya akan lebih langgeng, yang berarti otaknya semakin mudah menerima sinyal-sinyal kasih maupun ilmu dari sekitarnya.

Senyummu itu sedekah. Rasulullah SAW sudah lama mengajarkan hal tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang bergembira cenderung memiliki harapan hidup yang lebih lama.

Maka tersenyumlah. Maka berbagi hadiahlah. Karena manusia senang dicintai. Karena manusia senang diperhatikan. Karena manusia memiliki hati dan perasaan. Disamping otot keras dan tulang kukuh.

Sebulan silam dua SMS datang dari Jakarta. Dari teman SMP.  Mengucapkan selamat ulang tahun untuk saya. SMS sederhana tapi amat bermakna. Seketika sepanjang hari itu saya terus bersenang hati. Kendati tinggal jauh dari mereka yang dicintai di Indonesia.  Dua hari silam, Bapak saya tercinta mengirim email. Beliau sudah tua namun masih senang ber-email ria.  Isi emailnya sederhana. Memuji tulisan saya tentang pariwisata di Indonesia –yang saya kirim via email untuknya. Bapak mengatakan bahwa isinya relevan dengan kenyataan. Ayah saya senang dengan tulisan tersebut dan memforward tulisan tersebut ke rekan-rekan kantornya. Maka hari itupun saya senang luar biasa.  Apalagi yang lebih membahagiakan hati daripada ketika orang tua kita bangga dengan kita?

Therefore, Show your love, show your affection, pay attention to people, express your gratitude. Keep smiling…keep shining…

Barangsiapa yang mencintai yang berada di bumi karena Allah, akan dicintai oleh yang ada di langit…
Refleksi di hari Valentine

Teras muka Muslim Study Club

Mahidol Salaya Campus

Read Full Post »

SAATNYA MENUTUP GUANTANAMO

http://www.saksionline.com

Oleh: Heru Susetyo

Mahasiswa Program Doktor Human Rights and Peace Studies Mahidol University, Thailand

Ketika atensi publik Indonesia tersedot pada berita sakitnya mantan presiden Soeharto, masyarakat sipil di negara lain sibuk menggelar aksi keprihatinan terhadap eksistensi penjara militer AS di teluk Guantanamo,

Tutup Guantanamo ! lawan terorisme dengan keadilan ! Demikian pesan singkat para demonstran pada 10 Januari 2008. Persis bertepatan dengan peringatan enam tahun dibukanya kembali penjara militer Guantanamo. Di Washington, London, Madrid, Athena, Roma, Maroko, Mauritania, hingga Sydney dan Adelaide- Australia, masyarakat dunia berlomba mengecam dan menghujat Guantanamo. Uniknya, mayoritas demonstrasi terjadi justru di kota-kota yang selama ini menjadi `korban terorisme`. Sementara, di negara-negara `asal teroris` aksi serupa malah jarang terdengar.

Pangkal utama kebencian warga dunia adalah karena penjara Guantanamo mempraktekkan pola penyiksaan dan pemenjaraan yang di luar batas kemanusiaan. Hampir semua penghuni penjara Guantanamo adalah tersangka kasus terorisme dari seluruh penjuru dunia, utamanya dari Saudi Arabia, Yaman, Pakistan, Afghanistan dan Syria, yang dianggap musuh dan mengganggu keamanan AS. Sebagian besar tersangka ditahan disana bertahun-tahun lamanya tanpa proses peradilan yang sah. Bahkan tanpa akses kepada penasehat hukum, keluarga, ataupun kepada badan-badan internasional.

Sayangnya, aksi mengecam Guantanamo ini tak menular di Indonesia. Mungkin publik Indonesia telah lupa bahwa di antara tahanan Guantanamo adalah termasuk Hambali alias Encep Nurdjaman, warga Indonesia asli Cianjur yang disebut AS sebagai `Osama bin Laden Asia Tenggara` dan diciduk di Ayutthaya, Thailand pada 11 Agustus 2003.

Namun kepedulian publik Indonesia terhadap Guantanamo jelas tak sekedar karena Hambali mendekam disana, juga bukan karena sebagian besar tahanan adalah muslim, karena Islam-pun mengutuk terorisme, namun lebih karena di Guantanamo telah terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, dan penistaan martabat kemanusiaan yang melanggar hukum internasional, hukum negara manapun dan hukum agama apapun.

Penjara dan Penahanan yang Minim Legitimasi

Sedari awal keberadaan penjara Guantanamo sudah mengundang masalah. Sejatinya suatu penjara dengan tahanan warga sipil adalah berada di bawah administrasi departemen kehakiman ataupun kejaksaaan agung. Penjara militer ada hanya untuk tahanan militer ataupun di masa perang bagi para tawanan perang (prisoner of war).

Penjara Guantanamo adalah sebuah penjara militer yang berada di pangkalan angkatan laut AS di Teluk Guantanamo. Para tahanan disana tidak dianggap AS sebagai tawanan perang, karena mereka dianggap bukan militer dari negara lain yang sedang berseteru dengan AS. Lalu, legitimasi macam apa yang dimiliki AS untuk menahan mereka?

Pangkalan militer ini telah berdiri sejak tahun 1898 sebagai buah dari perjanjian antara AS dan Spanyol yang mengakhiri perang antara AS-Spanyol. Menempati area seluas 116 km2 dan berada persis di ujung paling tenggara dari negara Cuba, keberadaan Guantanamo adalah seperti `musuh dalam selimut` bagi Cuba. Yang memang memiliki sejarah konflik serta haluan politik dan ideologi yang berbeda dengan AS.

Dalam sejarahnya, disamping sebagai pangkalan militer, sejak tahun 1970-an pangkalan ini digunakan untuk menampung pengungsi dan pencari suaka asal Cuba dan Haiti yang mengungsi ke AS dan teritangkap di laut bebas. Pada tahun 1993, hakim AS Sterling Johnson memutuskan bahwa keberadaan kamp Guantanamo adalah inkonstitusional. Sehingga per 1995 pengungsi asal Haiti pun direlokasi ke tempat lain.

Tragedi 11 September 2001 (9/11) yang dilanjutkan dengan kampanye `perang melawan teror` (war against terrorism) yang dilancarkan AS di Afghanistan dan seluruh dunia mempercepat alih fungsi dan penggunaan kembali penjara Guantanamo. Per 10 Januari 2002 kamp ini mulai menerima tahanan yang dikategorikan AS sebagai `teroris` dan musuh dalam peperangan (enemy combatants) yang kemudian ditempatkan di tiga kamp masing-masing Delta, Iguana dan X-Ray (belakangan ditutup).

Sejak permulaan operasi `Enduring Freedom` di Afghanistan pada Oktober 2001 hingga kini, 775 orang telah ditahan di Guantanamo. Dari jumlah tersebut, 420 orang telah dilepaskan. Per 9 Agustus 2007 masih tersisa 355 tahanan. Dan per Januari 2008 ini masih tersisa 275 tahanan. Dari jumlah tersebut hanya tiga tahanan yang diadili dengan proses peradilan yang wajar, termasuk seorang warga Australia bernama David `white Taliban` Hicks, yang kemudian dikirim pulang untuk menjalani sisa waktu tahanan di Australia. Selebihnya `diadili` hanya dengan tinjauan administratif (administrative review) saja yang nyata-nyata bukanlah suatu pengadilan.

Pengadilan Distrik AS di Washington DC menyatakan pada tahun 2005 bahwa kebanyakan tahanan yang ditahan di Guantanamo adalah tidak pernah benar-benar berada di medan perang melawan AS, juga tidak memiliki senjata pemusnah massal yang mengancam AS. Meski demikian, militer AS tetap menahan mereka dengan dalih bahwa mereka adalah musuh dalam peperangan (enemy combatants) dan memiliki hubungan dengan Al Qaida atau organisasi teroris lainnya.

Penistaan yang Terjadi

Di luar masalah legitimasi terhadap keberadaan penjara dan alasan penahanan, Guantanamo juga menyimpan cerita tentang penistaan dan penyiksaan terhadap tawanan yang terburuk yang pernah dilakukan AS, disamping yang pernah terjadi di penjara Abu Ghraib Irak (2003 – 2004). Maria Theresa Godskesen (2006) menyatakan bahwa paling tidak ada delapan macam jenis penyiksaan (torture) yang terjadi di Guantanamo. Hal ini diperburuk dengan otorisasi Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld pada 16 April 2003, dimana ia menyetujui dilaksanakannya 24 jenis teknik interogasi hanya terhadap tahanan di Guantanamo.

Jenis penyiksaan tersebut antara lain : (1) Random punishment; penghukuman hanya untuk kesalahan yang sepele semisal menaruh handuk pada tempat yang salah ataupun meletakkan sendok dan garpu pada posisi yang salah; (2) Forced Nudity; alias tahanan ditelanjangi secara paksa untuk kebutuhan interogasi; (3) Cultural attacks; semisal penghinaan terhadap Al Qur`an, larangan membaca Al Qur`an, dan godaan secara seksual oleh interogator perempuan dengan cara meraba tahanan ataupun menari sensual di hadapan tahanan, juga dengan menghalangi tahanan mengambil air wudhu untuk shalat; (4) False Location; dengan cara menipu tahanan seolah-olah ia berada di negara lain, padahal masih berada di kamp Guantanamo; (5) Load Music, Strobe Light and Extreme Temperatures; tahanan disiksa dengan suara musik yang keras, cahaya yang sangat terang, dan suhu yang sangat panas sementara badannya ditutupi dengan bendera Israel; (6) Sleep manipulation; tahanan diinterogasi paksa ketika tengah tidur nyenyak, dan sel tahanan dirancang sedemikian rupa sehingga tahanan tak dapat tidur nyaman; (7) Violence; bukan cerita baru bahwa banyak tahanan di Guantanamo yang mengalami penyiksaan ketika tengah diinterogasi. Bentuk penyiksaan seperti pemukulan ataupun menyiram wajah dengan merica adalah sesuatu yang lazim terjadi; (8) Isolation; tahanan ditahan dalam ruang isolasi, mereka dilarang bicara dan dibatasi pergerakannya di luar ruang tahanan, apakah dengan ditutup mata (blindfolded) ataupun diborgol pergelangan tangannya.

Akibat penyiksaan dan perendahan derajat kemanusiaan ini, banyak terjadi upaya mogok makan dan bunuh diri di kalangan tahanan. Empat orang sudah didapati tewas karena bunuh diri dan puluhan lainnya terus melakukan percobaan bunuh diri dan mogok makan.

Saatnya Menutup Guantanamo

Amerika Serikat tak punya pilihan lain selain menutup kamp tahanan Guantanamo dan mengembalikan fungsinya semata-mata sebagai pangkalan militer. Terlalu banyak pelanggaran HAM dan penyiksaan yang terjadi disana yang melampaui batas kemanusiaan dan melanggar hukum internasional.

Amerika Serikat adalah peserta (state party) dari Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture), Konvensi Geneva 1949 yang mengatur antara lain tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang kesemuanya melarang penyiksaan dan perendahan martabat kemanusiaan atas alasan apapun. Bebas dari penyiksaan (freedom from torture) adalah bagian dari hak asasi manusia yang underogable (tak dapat diabaikan) dalam situasi apapun.

Amerika Serikat selalu berdalih bahwa tahanan yang ditangkap di Guantanamo adalah musuh dalam peperangan (enemy combatants) dan bukan tawanan perang (prisoner of war), sehingga mereka tak merasa harus tunduk pada Konvensi Geneva 1949 tentang perlindungan terhadap tawanan perang. Juga, mereka berdalih apa yang dilakukan terhadap tahanan Guantanamo adalah bukan penyiksaan namun memiliki justifikasi dalam rangka memperoleh informasi dalam perang melawan terorisme.

Apapun dalihnya, penyiksaan adalah penyiksaan. Terorisme, apabila benar dilakukan oleh para tahanan tersebut, jelas adalah suatu kejahatan serius dan amat patut dikecam. Namun melawan terorisme dengan `terorisme` lain seperti yang terjadi di penjara Guantanamo jelas salah. Tak cukupkah tentara AS mengorbankan rakyat sipil dalam perang Afghanistan dan Irak, menyiksa tawanan perang di penjara Abu Ghraib, Irak, kini mereka menyiksa pula warga negara lain di tanahnya sendiri? Maka, siapa kini yang pantas disebut teroris? Mempertahankan kebebasan (enduring freedom) jelas tak layak dilakukan dengan menciptakan horor dan terorisme baru. Pun, bagi mereka yang nyata-nyata adalah teroris. Kembalikanlah proses pemidanaan terhadap tersangka teroris sesuai dengan tata hukum dalam negara demokrasi seperti yang selama ini dibangga-banggakan Amerika Serikat.

Saatnya pula warga dunia, termasuk Indonesia, bersikap kritis menentang ketidakadilan ini. Apakah melalui komplain kepada AS, melalui diplomasi internasional, melalui kendaraan PBB, ataupun melalui peran badan-badan HAM Internasional. Sikap aktif dan kritis ini, sekali lagi, bukan karena tersangka pelakunya kebanyakan muslim. Juga bukan karena ada warga Indonesia disitu, namun lebih karena terorisme tak harus dilawan dengan menciptakan terorisme dan ketidakadilan baru.

Wallahua`lam

Salaya, 16 Januari 2008

Read Full Post »

PEKERJA HAM TAK MEMILIKI HAM

Oleh : Heru Susetyo

Pekerja HAM pada PAHAM Indonesia

 

 

Pekerja HAM Minim Perlindungan HAM

Dunia telah mencatat,  para pembela dan pekerja Hak Asasi Manusia (HAM) di semua negara seringkali adalah juga orang-orang yang tak terlindungi hak-haknya. Utamanya hak atas rasa aman  dan bebas dari rasa takut (freedom from fear).  Mereka bekerja keras untuk menegakkan HAM masyarakat, bangsa, ataupun kelompoknya.  Bersabung nyawa untuk menegakkan demokrasi bagi masyarakat tertindas dan minoritas.  Namun sayang sekali,  mereka kerap mengalami kekerasan,  penganiayaan, penculikan, bahkan berujung pada hilangnya nyawa.

 

Almarhum Munir adalah salah satu ikon kelompok ini.   Pertarungan  panjangnya sejak tahun 1980-an  membela HAM kelompok buruh, petani, rakyat miskin, korban kekerasan Negara, dan orang-orang hilang (disappeared persons),  berakhir tanggal 7 September 2004 silam ketika ia dijumpai tewas karena diracun di atas pesawat Garuda di atas langit Hongaria.

 

Dan Munir tidak sendirian.  Di Indonesia ada tokoh-tokoh seperti Marsinah yang tewas setelah aksi buruh di Sidoarjo.  Wartawan harian Bernas, Udin, yang tewas karena kerap memberitakan hal-hal yang membuat merah kuping penguasa diYogyakarta,  dan masih banyak lagi.  Lembaga HAM Frontlinedefenders (2004)mencatat bahwa hampir di setiap Negara,  tak kenal Negara maju ataupun Negara terbelakang,  hampir selalu ada pejuang HAM yang menjadi korban atau dikorbankan baik oleh struktur Negara/ militer,  korporasi, maupun oleh kelompok politik/ social tertentu,

 

Nelson Mandela di Afrika Selatan mendekam hampir 28 tahun di penjara karena kegigihannya menentang rezim apartheid yang mendiskriminasikan warga Negara berdasarkan warna kulit.  Marthin Luther King, Jr., Doktor dan pendeta sekaligus pejuang hak-hak sipil (civil rights) bagi kelompok hitam (black people) di Amerika Serikat,  tewas ditembak pada 4 April 1968 oleh James Earl Ray setelah aktif menggelar sejumlah aksi menolak segregasi antar kelompok ras di AS.   Aung San Suu Kyi,  pemimpin kelompok oposisi di Myanmar (Burma) telah nyaris sepuluh tahun dikenakan tahanan rumah karena menentang kebijakan otoriter junta militer di negaranya.  Bahkan,  ketika suaminya meninggal,  Suu Kyi tetap tak diperkenankan menjenguk.  Hingga dunia internasional turun tangan dan mengutuk otoritasMyanmar.

 

Di Iran, Mahboobeh Abbasgholizadeh, aktivis perempuan dan editor majalahFarzaneh (Jurnal studi perempuan pertama di Iran) , ditangkap dan ditahan tanpa alasan yang jelas oleh Kejaksaan Teheran pada 2004 serta tanpa sedikipun akses pada pengacara dan keluarganya.  Irene Fernandez,  aktivis perempuan Malaysia, yang telah lama berjuang untuk menegakkan hak-hak pekerja wanita,  ditahan dan dihukum penjara oleh otoritas Malaysia karena dianggap membocorkan situasi penahanan terhadap pekerja migran dalam penjara-penjara Malaysia.

Claudia Duque, seorang jurnalis dan pekerja HAM di Colombia telah menerima sejumlah ancaman mati.  Pada 17 November 2004 ia menerima telepon gelap yang mengancam akan membunuh anak perempuannya.  “”Kami tak punya pilihan lain selain membunuh anakmu.  Meskipun ia berlindung di balik mobil lapis baja kami tetap akan membunuhnya.  Kami akan membakarnya hidup-hidup dan akan memotong dan menyebarkan jari-jarinya ke semua tempat” (frontlinedefenders, 2004).

Di Aceh,  aktivis perempuan Raihana Diani ditangkap dan ditahan selama 33 hari setelah mengorganisir demonstrasi anti hukum militer di Banda Aceh pada 16 Juli 2002.  Ia kemudian dipidana selama enam bulan penjara tanpa tuduhan dan alat bukti yang jelas.  Selama ditahan,  ia ditempatkan pada sel kecil berukuran 3 X 4 meter bersama-sama dengan tahanan yang hampir semuanya laki-laki.

Uniknya,  tak semua pekerja HAM yang terzhalimi berasal dari negara miskin dan terbelakang. Negara ‘kampiun demokrasi dan HAM’  seperti Amerika Serikat banyak menyimpan cerita kekerasan terhadap warganegaranya.  Pasca serangan WTC 9/11, puluhan pekerja kemanusiaan muslim warga AS diciduk aparat,  ditahan tanpa akses ke pengacara dan keluarganya selama berbulan-bulan,  dan diadili dengan tuduhan terorisme tanpa alat bukti yang jelas.  Hanya karena mereka pernah menggalang dana kemanusiaan untuk membantu pengungsi Chechnya atau Palestina,  maka mereka dituduh telah membantu mendanai terorisme.

Dan,  tak hanya muslim.  Lynne Stewart,  pengacara kulit putih warga AS yang tinggal di New York tak luput dari kekerasan.  Ia adalah pengacara Sheik Omar Abdul Rahman dan Mummia Abu Jamal,  dua tersangka ‘teroris’  versi AS.  Karena kegiatan pembelaan dan pendampingannya terhadap dua  ‘teroris muslim’  ini,  ia yang notabene non muslim dikenakan tuduhan telah membantu kegiatan terorism (aiding terrorism), antara lain karena menyebarkan press release kepada Reuters.  Federal Bureau of Investigation (FBI) menggerebek rumahnya,  menggeledah dan menyita semua dokumennya, setelah terlebih dahulu menyadap telepon dan semua saluran komunikasinya.  Akhirnya ia ditahan dan dicap sebagai ‘teroris yang berprofesi sebagai pengacara.’   Beruntung,  karena ketangguhan pengacaranya,  ia dibebaskan dari tuduhan membantu terorisme (terrorism charges),  kendati masih menghadapi tuduhan lain dengan ancaman pidana sepuluh tahun penjara.

Pekerja HAM memang seringkali bekerja lintas sektoral.  Mengangkangi sekat-sekat geografis, kewarganegaraan, kebangsaan, agama, etnisitas, rasial, jender, keyakinan kelompok, kelompok politik dan sosial.  Ini adalah nilai tambah bagi mereka sekaligus nilai minus bagi lawan-lawanya.  Disamping Lynne Stewart,  yang notabene non muslimd dan warga AS,  ada juga Rachel,   gadis yang menjadi tumbal kekerasan Israel.   Ia tewas dibuldoser Israel yang memaksa membangun pemukiman Yahudi di Palestina pada 2003.  Padahal ia non muslim dan warganegara AS.   Bahkan di Chicago, AS,  ada sekelompok warga Yahudi AS yang kerap menggelar aksi menolak kekerasan AS di sekitar Water Tower – Michigan Avenue, setiap hari Ahad,   Mereka memprotes kekerasan otoritas Israel terhadap warga Palestina dengan mengatakan  : “Not in Our Name.”

Di Amerika, paling tidak ada dua organisasi yang concern dengan situasi HAM di Indonesia.  Masing-masing adalah ETAN (East Timor Action Network), dan satu lagi adalah NGO untuk HAM di Aceh.   Keduanya diawaki oleh aktivis yang tak semuanya orang Timtim ataupun Aceh.  Banyak diantaranya adalah warga AS berkulit putih atau hitam yang sama sekali tak pernah ke Indonesia, tak bisa berbahasa Indonesia, dan tak punya kepentingan apapun di Indonesia selain bahwa negara Indonesia harus menegakkan HAM dan bersih dari kekerasan.

Di New Zealand,  ada IHRC –NZ (Indonesian Human Rights Committee in New Zealand),  lembaga yang hampir sepenuhnya diawaki orang-orang asli New Zealand.  Mereka concern dengan penegakkan HAM di Aceh, Papua, Maluku, Papua,East Timor, dan lain-lain.  Uniknya,  mayoritas juga tak pernah ke Indonesia dan tak bisa berbahasa Indonesia.   Lembaga yang dikomandoi Maire Leadbeater, mantan anggota parlemen Auckland ini,  concern dengan masalah kemanusiaan di Indonesia  tanpa pretensi politik maupun mendukung gerakan separatisme.

 

Menyikapi Perlindungan Pekerja HAM

Karena sikap perlawanan terhadap kekuasaan yang otoriter dan a-demokratis, apakah bernama negara, tentara, polisi, multi national corporations (MNCs), pemilik modal, kelompok agama,  kelompok politik, kelompok sosial, dan lainnya,  wajar apabila kehidupan pekerja HAM selalu dekat dengan ancaman, intimidasi, dan kekerasan.  Mereka acapkali dicap sebagai ‘pengkhianat negara dan bangsa,’ ‘pemberontak’, ‘agen-agen sosialis-komunis,’ dan sebagainya.  Merekapun kerap dituduh telah ‘mengencerkan’  (baca : men-dekonstruksi) nilai-nilai nasionalisme, patriotisme,  nilai sosial-budaya, ideologi politik, sampai keyakinan agama.

Sesungguhnya pekerja HAM yang orisinil bekerja semata-mata untuk kemanusiaan dan HAM. Mereka bekerja lintas sektoral dan lintas geografis semata-mata karena memandang bahwa HAM adalah persoalan yang universal yang dimiliki secara sama oleh semua anak cucu Adam.  Nelson Mandela dan Munir adalah dua contoh baik dari pekerja HAM.  Setelah 27 tahun dipenjara,  langkah pertama Nelson bukanlah menjumpai keluarganya, ia malah mempersiapkan gerakan baru untuk mempersiapkan pemerintahan baru yang lebih demokratis. Sama halnya dengan almarhum Munir.  Ia beberapa kali  mendapat award dan reward dari lembaga dalam dan luar negeri.   Namun, hanya sedikit kucuran rupiah dan dollar tersebut yang mampir di rekeningnya.  Ia mendermakan sebagian besarnya untuk lembaga dan kegiatan penegakkan HAM.  Wajar,  sampai meninggalnya,  Munir masih tampak sangat sederhana dengan tunggangan Honda bebek dan Toyota butut 80-an –nya.  Maka, merujuk Mandela dan Munir,  ketika ada pekerja HAM yang menggadaikan HAM untuk tujuan-tujuan politis dan materiil semata,  sesungguhnya ia telah kehilangan eksistensinya sebagai pekerja HAM.

Terlepas apakah pekerja HAM memberikan kontribusi positif terhadap HAM, ataukah malah mendekonstruksi ideologi, nilai-nilai sosial, budaya, dan agama,  ia tetaplah manusia biasa yang perlu perlindungan.  Ia tetap manusia yang punya rasa takut dan butuh rasa aman.  Maka,  sudah semestinya negara, korporasi, swasta, kelompok hingga individu,  baik yang berposisi sebagai mitra maupun berseberangan, memberikan perlindungan bagi mereka.  Karena,  merekapun memiliki hak untuk dilindungi, berdasarkan Declaration on the Right and Responsibility of Individuals,
Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally
Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms,  
yang disahkan Majelis Umum PBB pada 9 Desember 1998.
Wallahua’lam

Read Full Post »

SUAKA WARGA PAPUA DI AUSTRALIA

Heru Susetyo

Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia/

Alumnus Program Master of International Human Rights Law Northwestern University –Chicago

 

Beberapa pekan terakhir suhu politik Indonesia-Australia kembali meninggi. Sebabnya adalah mendaratnya 43 orang warga Papua ke Australia pada pertengahan Januari 2006 di Cape York, Australia, setelah enam hari berlayar dari Papua (Koran TEMPO, 26/1-2006). Tujuan mereka antara lain adalah memohon suaka politik dari pemerintah Australia dengan dalih khawatir menjadi korban kekerasan dan ‘genocide’ di Papua.

 

Mereka  -yang terdiri dari 30 pria dewasa, 6 perempuan, dan 7 anak-anak berasal dari sekitar Nabire Papua-  kemudian diterbangkan dengan pesawat Hercules AU Australia ke pulau Christmas sebagai tahanan imigrasi,  untuk kemudian diproses kelayakan aplikasi suaka-nya di pulau di selatan Pelabuhan Ratu tersebut.

 

Permohonan suaka ke negera lain oleh WNI telah terjadi beberapa kali.  Beberapa tahun silam ada warga Timor Timur (ketika masih bergabung ke NKRI) yang memohon suaka ke kedubes Vatican,  juga beberapa pemuda asal Aceh memohon suaka ke kedubes Swedia.  Di Amerika, tak berbilang banyaknya, warga keturunan Tionghoa yang memohon suaka ke pemerintah AS, terutama setelah kerusuhan Mei 1998, dengan dalih khawatir menjadi korban kekerasan kalau kembali ke Indonesia.

 

Khusus untuk permohonan suaka warga Papua ini,  apakah permohonannya layak diterima dari perspektif hukum internasional, atau tidak?  Apalagi  Presiden SBY dan Menlu Hasan Wirayudha sebelumnya telah menyatakan bahwa mereka bukanlah target pencarian dan takkan ditangkap sekiranya kembali ke Indonesia.

 

 

Dasar  Memohon Suaka

Mengajukan asylum (suaka) memang adalah perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.  Apalagi jika memang tersedia alasan yang cukup untuk itu.  Pasal 28 UU RI  No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : “setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.”

Sementara itu,  pasal 13 (2) Deklarasi HAM Universal 1948 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk meninggalkan Negara, termasuk negaranya sendiri, ataupun untuk kembali ke negaranya.”  Hak atas kebebasan mencari suaka ini dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan bahwa: (1). Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di Negara lain karena kekhawatiran mengalami penyiksaan  (2)  Hak ini tak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis ataupun karena tindakan-tindakan yang bertentangan dengan maksud dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam piagam PBB

Dari penegasan deklarasi ini,  kata kunci untuk memohon suaka adalah adanya ketakutan ataupun kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaaan/ penganiayaan (persecution) di suatu negara,  sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan (suaka) ke negara lain.  Termasukdisini adalah bagi para pejuang/ orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme (persons struggling against colonialism). 

Namun,  permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik atau yang bernuansa SARA dan tidak untuk selainnya (non political crimes), apalagi apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB.  Termasuk dalam golongan mereka yang diharamkan untuk menerima suaka politik adalah mereka yang diduga keras telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime),  dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

Pencari suaka (asylum seekers) sering diposisikan secara beririsan denganrefugees (pengungsi). Karena, terminologi ‘pengungsi’  menurut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) adalah:  “seseorang yang“oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.”

Namur,  pencari suaka berbeda dengan pengungsi. Seringkali para pencari suaka adalah sekaligus pengungsi juga,  utamanya ketika mereka meninggalkan negerinya karena rasa takut yang wajar akan penganiayaan. Namun, tak semua pengungsi adalah pencari suaka.  Karena banyak juga pengungsi yang ingin pulang ke negerinya ketika kondisi negeri telah relatif aman.

 

Prinsip Non Refoulement Bagi Australia

Menarik melihat sikap Australia kali ini yang memberi peluang bagi warga Papua untuk diproses dulu permohonan suakanya di Pulau Christmas.  Karena pada Agustus 2001 negara ini pernah menolak masuknya para pencari suaka asal Afganistán dan Irak ke daratan Australia setelah sebelumnya mereka transit dan menumpang kapal dari Indonesia.  Bedanya, ketika itu, para pencari suaka yang kemudian terdampar dan diselamatkan kapal barang Norwegia, Tampa, tak diperkenankan masuk Australia.  Pun, untuk diproses dahulu permohonan suakanya.  Mereka malah dikirimkan ke Nauru untuk diproses permohonannya, untuk kemudian ditampung di New Zealand, Canada, dan di beberapa negara Scandinavia.

 

Memang,  sejatinya,  Australia dan semua negara yang kedatangan para pemohon suaka, tak menolak masuknya para pencari suaka pada kesempatan pertama. Apalagi ketika alasan mereka memohon suaka adalah masuk akal.  Langkah terbaik adalah memproses dahulu permohonan tersebut apakah beralasan atau tidak. Karena, dalam hal ini berlaku prinsip non refoulement (tidak mengusir/ mengembalikan).

 

Pasal 3 Konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) menyebutkan bahwa  : “Negara peserta dari Konvensi ini dilarang untuk mengusir atau mengembalikan, ataupun mengekstradisikan (non refoulement) ke negara lain seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa ia berada dalam ancaman penyiksaan/ kekerasan.

Juga, pada pasal 31 Konvensi tentang  Status Pengungsi  (Convention Relating to the Status of Refugees) tahun 1951 menyebutkan bahwa :  “Negara peserta dari Konvensi ini tidak akan menjatuhkan hukuman kepada seseorang/ sekelompok orang yang memasuki suatu negara secara tidak sah (ilegal) karena mengungsi ataupun karena keselamatannya terancam.

 

Kelayakan Warga Papua Beroleh Suaka

Apakah warga Papua yang sudah terlanjur tiba di Australia berhak atas suaka politik?  Kata kunci dari permohonan Suaka adalah adanya rasa takut/  ancaman terhadap keselamatan diri dari penganiayaan/ penyiksaan (persecution). Juga, tersedia cukup alasan/ bukti bahwa yang bersangkutan terancam keselamatannya karena alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik.  Dan, dimana ia tak mendapatkan jaminan ataupun perlindungan yang seharusnya di dalam negerinya (vide Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951).

 

Apabila alasan para pencari suaka adalah karena telah terjadi ‘genocide’ (pembersihan etnis) di Papua, ini kurang beralasan.  Karena,  genocide terkait dengan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,  ras,  kelompok etnis, ataupun kelompok agama (vide pasal 8 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

 

Sejauh pengetahuan kami,  kekerasan Negara (state violence) ataupun kekerasan tentara/ polisi terhadap warga sipil  memang kerap terjadi di Papua namun itu tidak identik dengan genocide.  Karena yang menjadi korban seringkali tidak mewakili etnis ataupun kelompok tertentu.  Juga kekerasan tersebut terjadi tidak dengan niat untuk ‘menghilangkan’ etnis/ kelompok tertentu.  Barangkali yang lebih tepat adalah telah terjadi kejahatan yang memenuhi kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan(crime against humanity) ataupun pelanggaran berat HAM yang kualifikasinya sama dengan genocide,  yang mengancam dan membuat takut warga yang masih hidup, sehingga memerlukan memohon suaka ke negeri lain.

 

Tapi, sekali lagi hal tersebut harus dibuktikan.  Bahwa benar sang pencari suaka benar-benar merasa terancam akan mengalami penyiksaan sekiranya mereka tetap berada atau kembali ke daerah asal.  Bahwa keanggotaan mereka dalam kelompok politik, sosial, rasial, etnis dan agama tertentu memang membuat mereka betul-betul berada dalam bahaya.  Pembuktian tersebut tak menjadi monopoli imigrasi saja, namun juga hingga pem-proses-an ke pengadilan.

 

 

Catatan Akhir

Kendati,  pemerintah RI telah menjamin bahwa para pencari suaka bukanlah target operasi dan takkan ditangkap kalau mereka pulang ke Indonesia. Dan, para pencari suaka-pun tetap bertahan pada keyakinan bahwa mereka akan menjadi target penyiksaan apabila tetap bertahan di Papua,  bola kini berada pada pemerintah Australia.

 

Australia telah menjadi pihak (party) dalam Konvensi Status Pengungsi 1951 dan Konvensi Anti Penyiksaan 1984.  Artinya mereka mesti memperlakukan para pencari suaka dengan layak dan tidak begitu saja mengusir atau memulangkan ke negeri asal pada kesempatan pertama (non refoulement) seperti yang pernah dilakukan pada pencari suaka dari Afghanistan-Irak tahun 2001 dalam Tampa Affair, yang menuai kecaman dunia internasional.  Pem-proses-an di Pulau Christmas adalah suatu langkah awal yang positif.

 

Bagi pemerintah RI, semestinya kasus ini menjadi evaluasi mengapa ada warga negara yang tidak nyaman dan ingin hengkang dari bumi Indonesia.  Harus diakui bahwa kekerasan negara yang dilakukan oknum tentara/ polisi kerap terjadi di daerah konflik, peristiwa mana membuat banyak warga di daerah konflik amat gerah dan ingin menyelamatkan diri.

 

Bagi para pencari suaka,  mesti betul-betul ditelaah alasan mereka mencari suaka. Apakah benar-benar beralasan sesuai Konvensi Internasional atau lebih karena alasan-alasan non politis dan non SARA.  Karena,  pengalaman menunjukkan bahwa permohonan suaka yang tidak beralasan takkan dapat diterima, dan sang pencari suaka kemudian dapat menjadi subyek untuk ditahan, dikenakan denda, atau bahkan di-deportasi.

 

 

Read Full Post »

SUAKA PALSU WNI DI AS

Heru Susetyo

Aktivis Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia (PAHAM)

 

 Di pertengahan November 2004,  masyarakat Indonesia di pantai timur Amerika Serikat dikejutkan dengan penangkapan 26 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang mayoritas keturunan Tionghoa atas tuduhan pemalsuan dokumen-dokumen keimigrasian dan pengajuan permohonan suaka politik palsu.

 

Majalah Tempo 5 Desember 2004 mengungkapkan bahwa pada 22 November 2004 pemerintah AS telah menggerebek anggota sindikat pemalsu dokumen suaka secara serentak di lebih dari 10 negara bagian di AS.   Dari 26 tersangka,  23 di antaranya adalah WNI, sisanya dua orang warga negara AS dan seorang warga Australia.  Pimpinan sindikat ini adalah Hans Gouw,  WNI yang  permohonan suakanya dikabulkan pada 1999.

 

Semua tersangka dikenai tuduhan sama : memalsukan dokumen suaka dan berkonspirasi dalam pemalsuan dokumen.  Antara lain dokumen Surat Izin Mengemudi (Driving License),  Kartu Identitas Penduduk (ID Card),  sertifikat permanent resident  (green card),  Social Security Number (SSN), sampai dengan pengurusan suaka politik (political asylum).

 

Pengajuan suaka (asylum application) palsu ini  bukan berita baru bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di AS.  Sejak kerusuhan 1998,  hampir selalu isu ini yang sering digunakan.   Bahwa mereka adalah WNI yang terzhalimi karena beretnis keturunan,  karena minoritas, dan karena non muslim.

 

Mereka menyiapkan skenario pengakuan bohong seperti diperkosa atau dianiaya dalam kerusuhan etnis atau agama.  Sayangnya,  mereka tak cukup cantik dalam mengemas cerita ini.  Dalam beberapa permohonan suaka, ceritanya cenderung seragam.  Para pelamar menghafalkan kata demi kata secara persis seperti yang diajarkan,  juga diajari menangis dan memohon secara emosional untuk mengundang simpati petugas.

 

Dari observasi penulis langsung ketika studi di AS,  penulis menemukan sejumlah kasus permohonan suaka yang diajukan oleh WNI keturunan Tionghoa yang tinggal di AS.  Dalam satu kasus permohonan suaka yang diajukan di negara bagian Illinois dan kemudian dikabulkan oleh pengadilan setempat (district court),  memang cerita yang dikemukakan hampir serupa dengan kisah karangan Hans Gouw dkk.   Disebutkan disitu bahwa sang pemohon (WNI Keturunan Tionghoa) dilahirkan di Jawa Timur di tengah masyarakat mayoritas muslim.  Ia sering mengalami perlakuan diskriminatif sejak lahir.  Sering  di –Cina-Cina-kan,  dilecehkan,  sulit untuk beribadah di gereja,  dianiaya, dan puncaknya pada kerusuhan Mei 1998, dimana gerejanya dibakar, rumahnya dibakar, keluarganya disiksa, dan ia nyaris diperkosa…  Benarkah cerita tersebut?  Wallahua’lam.   Yang pasti,  hakim kemudian memanggil saksi ahli yang mengerti kondisi Indonesia,  kemudian kasusnya diperiksa,  dan akhirnya permohonan suakanya dikabulkan.  Ia akan menjadi warga negara AS dalam waktu tak terlalu lama.

 

 

Antara Pencari Suaka dan Pengungsi

Mengajukan suaka (politik) memang adalah suatu perbuatan yang legal dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.  Apalagi jika memang tersedia alasan yang cukup untuk itu.  Pasal 28 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa : “setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.”

Sementara itu,  pasal 13 paragraf 2 Deklarasi HAM Universal 1948 menyebutkan bahwa “Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country’.  Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal (negara) ini dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967yang menyatakan : (1). Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution (2). This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or from acts contrary to the purposes and principles of the United Nations.

Dari penegasan deklarasi ini,  kata kunci untuk memohon suaka (asylum) adalah adanya ketakutan ataupun kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaaan/ penganiayaan (persecution) di suatu negeri,  sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan (suaka) ke negara lain.  Termasuk disini adalah bagi para pejuang/ orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme (persons struggling against colonialism).  Namun,  permohonan suaka ini dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selainnya (non political crimes), apalagi apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB. Termasuk dalam golongan mereka yang diharamkan untuk menerima suaka politik adalah mereka yang diduga keras telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian (crime against peace), kejahatan perang (war crime),  dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

Batasan terminologi  ‘suaka’ ini nyaris beririsan dengan batasan terminologi ‘pengungsi’.  Terminologi ‘pengungsi’  menurut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) adalah mereka yang :  seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.

Dalam istilah lain, ‘refugee’ adalah pengungsi yang lari ke negara lain, yang sudah jelas diatur statusnya melalui konvensi 1951 dan protokol PBB 1967 yang telah diratifikasi oleh 136 negara. 

 

Disamping itu, belakangan hadir pula istilah ‘pengungsi internal’ (Internally Displaced Persons) yang memiliki makna sebagai berikut : Orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pekanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak meliintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional (The Guiding Principles of Internal Displacement,  1998).

 

Jenis pengungsi terakhir inilah yang kini paling banyak didapati di Indonesia. Yaitu, mereka yang terpaksa mengungsi akibat konflik vertikal (Aceh, Timor Timur, Papua) ataupun konflik horizontal bernuansa etnis dan agama (Poso, Maluku, Sampit, dan Sambas).  Pada tahun 2002,  jumlah mereka mencapai 1,4 juta jiwa (IDPProject, 2002).

 

 

Dasar Hukum Memohon Suaka 

Kata kunci dari permohonan Suaka yang sah adalah adanya rasa takut/ ancaman terhadap keselamatan diri dari penganiayaan/ penyiksaaan (persecution).  Kemudian,  mengutip definisi dari ‘pengungsi’,  alasan tambahan dari permohonan suaka adalah adanya cukup alasan/ bukti bahwa yang bersangkutan terancam keselamatannya karena alasan rasial, agama, kebangsaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik.  Dan, dimana ia tak mendapatkan jaminan ataupun perlindungan yang seharusnya di dalam negerinya (well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country).

 

Kasus-kasus permohonan suaka oleh para pencari suaka (asylum seekers) yang telah terjadi di dunia dan dianggap layak oleh hukum internasional antara lain pengungsi Vietnam pasca konflik AS – Vietnam tahun 60 – 70 –an, pengungsi Afghanistan era Taliban, pengungsi Irak era Saddam Hussein, pengungsi Kamboja era Pol Pot,  pengungsi Haiti,  dan lain-lain. 

 

Seringkali,  para pengungsi (refugees) adalah sekaligus pencari suaka (asylum seekers),  karena mereka tak punya pilihan hidup lain selain mengadu nasib di negeri orang.  Namun,  ada juga pencari suaka yang tak mendapat status sebagai ‘pengungsi.’  Berbeda halnya dengan pengungsi domestik (internally displaced persons- IDPs) yang memang tak hendak mencari suaka di negeri orang.  Mereka hanya merasa tidak aman dan nyaman untuk tetap bertahan di daerahnya sendiri.

 

Apabila tersedia cukup alasan untuk mencari suaka,  maka perlindungan terhadap para asylum seekers dan refugees tersebut sungguh kuat di sisi hukum pengungsi internasional.  Seperti pasal berikut :

 

Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture)  : “Negara peserta dari Konvensi ini dilarang untuk mengusir atau mengembalikan, ataupun mengekstradisikan (non refoulement) ke negara lain seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa ia berada dalam ancaman penyiksaan/ kekerasan.

Juga, pada pasal 31 Konvensi tentang  Status Pengungsi tahun 1951 disebutkan bahwa :  “Negara peserta dari Konvensi ini tidak akan menjatuhkan hukuman kepada seseorang/ sekelompok orang yang memasuki suatu negara secara tidak sah (ilegal) karena mengungsi ataupun karena keselamatannya terancam.“

Mensikapi Suaka Palsu WNI di AS

Memang,  tak semua kisah permohonan suaka WNI keturunan Tionghoa di AS adalah fiktif.  Banyak juga yang benar walaupun pada banyak bagian dilebih-lebihkan.  Kenyataannya,  diskriminasi terhadap etnis Tionghoa memang masih  terjadi di Indonesia.  Namun,  kalau disebutkan bahwa  korban kerusuhan Mei 1998 adalah hanya etnis Tionghoa, kenyataannya tidak juga. Banyak juga etnis non Tionghoa yang menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual pada peristiwa tersebut.  Di sisi lain,  permohonan asylum yang diajukan dengan menggunakan alasan tersebut lebih dari 300 permohonan. Padahal tidak semua pemohon adalah perempuan (korban perkosaan), pun tidak ada bukti menjadi korban langsung dari peristiwa tersebut.  Wajarlah apabila orang menilai bahwa aroma fiktif dari permohonan-permohonan tersebut amat  kentara.

 

Yang lebih memprihatinkan,  demi mendapat suaka, yang kemudian akan berujung pada permanent resident  (green card) dan akhirnya sebagai citizen(warganegara),  pemohon tak segan-segan mendiskreditkan agama dan umat Islam Indonesia.  Terkesan,  masyarakat muslim Indonesia sangat fanatik, intolerance,  tak memberi ruang pada agama lain,  dan akhirnya gemar menyiksa dan menghancurkan prasarana ibadah agama lain.   Padahal, seperti telah kita ketahui, bagian terbesar umat Islam Indonesia justru adalah mereka yang ‘abangan’  alias tidak terlalu ketat dengan keislamannya. Memang,  ada beberapa kelompok yang ‘tidak toleran’ dengan umat lain, namun hal ini tidak dapat digunakan untuk menggeneralisir bahwa umat IslamIndonesia sebagai tidak toleran.

 

Yang juga janggal,  pemohon suaka dari  WNI yang berada di AS sebenarnya punya banyak pilihan selain di AS.  Mereka bisa ke Singapura, Hongkong,Taiwan, Australia, ataupun New Zealand.  Mengapa harus ke AS yang jaraknya jauh lebih jauh.  Mengapa mereka tak memilih negara Scandinavia yang terkenal ramah dengan pencari suaka dan pengungsi?  Siapapun tahu,  untuk ke AS perlu visa yang harus dimohon jauh-jauh hari, juga biaya transportasi yang tidak sedikit.  Artinya,  ada perencanaan,  ada biaya, dan ada waktu yang dimiliki oleh para ‘pencari suaka’  sebelum pergi ke AS.  Padahal,  biasanya para pencari suaka ataupun pengungsi adalah orang-orang yang terusir secara paksa dari negerinya tanpa sempat membawa apapun yang berharga.  Sering hanya membawa badan dan pakaian saja di tubuhnya.   Maka,   motif untuk mencari kenikmatan ekonomi dan materiil di AS nampak lebih kentara, dari para WNI keturunan ini dalam memohon suaka,  ketimbang untuk mencari tempat perlindungan yang aman dari ancaman penyiksaan dan penganiayaan rasial dan agama (persecution).

 

Maka,  pemerintah AS tak terlalu salah untuk mendeportasi mereka kembali ke Indonesia,   ataupun untuk membatalkan suaka mereka,  serta membatalkangreencard ataupun citizenship mereka. Juga untuk menghukum mereka dengan hukuman pidana ala AS.   Kemudian,  di Indonesia mereka-pun harus siap menerima sanksi.   Karena, mereka telah menggadaikan negara dan bangsa, utamanya umat Islam, dengan menyebar cerita fitnah demi keuntungan dan kenikmatan pribadi.

 

Wallahua’lam

 

 

 

           

 

 

Read Full Post »

PENDIDIKAN HAK ASASI MANUSIA

 

Heru Susetyo

Staf Pengajar Fakultas Hukum UI/

Alumnus Program Master of International Human Rights Law Northwestern University Chicago  dan Human Rights Education Training Kaohsiung Taiwan

 

 

“I am certain that after the dust of centuries has passed over our cities, we too will be remembered not for victories or defeats in battle or in politics, but for our contribution to the human spirit”-   John F. Kennedy

 

Diterbitkannya buku pendidikan berbasis hak asasi manusia oleh Departemen Pendidikan Nasional (KOMPAS 13/1 -2006) sungguh suatu langkah maju dalam penegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.  Untuk negara yang punya pengalaman panjang dengan pelanggaran HAM, diskriminasi ras dan etnis, dan minim toleransi terhadap perbedaan, sungguh buku tersebut bak angin segar. Permasalahannya,  bukankah pendidikan hak asasi manusia dengan bentuk yang lain telah lama diajarkan di Indonesia?  Bukankah sejak di Sekolah Dasar  murid-murid kita telah mempelajari agama, etika, budi pekerti, pendidikan moral pancasila dan sebagainya?  Pendidikan hak asasi manusia seperti apa yang dimaksud? Tulisan berikut tidak hendak meresensi buku tersebut di atas, namun ingin menyuguhkan perspektif tentang Pendidikan Hak Asasi Manusia (human rights education) dalam situasi Indonesia kontemporer.

 

Perspektif Pendidikan HAM

Pendidikan HAM (human rights education) secara sederhana dapat diartikan sebagai mendidik  setiap individu untuk dapat memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk dapat menghargai hak-hak orang lain.  Sang individu diharapkan dapat membangun suatu ‘budaya hak asasi manusia’ dan peduli dengan pembangunan sosial, budaya, dan politik  masyarakatnya,  serta mengarahkan pembangunan tersebut ke arah keadilan (MOE Taiwan, 2003).

People Movement for Human Rights Education (PDHRE), suatu Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang bermarkas di New York, memaknai human rights education sebagai suatu pembelajaran HAM (human right learning) lebih daripada pendidikan HAM (human rights education)  (Pimple, 2005).  Pembelajaran (learning) dimaknai sebagai suatu proses untuk memodifikasi pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan yang telah eksis melalui pengalaman, praktik, dan latihan-latihan. Sedangkan pendidikan (education) adalah proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah, atau dalam arti luas adalah proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat(Britannica, 2003).

Pilihan pada pembelajaran HAM ala PDHRE mengacu pada pedagogik kritis dan transformatif. Pedagogik kritis melihat masyarakat, pendidikan, persekolahan, merupakan arena-arena dimana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat.  Kendati tidak bersifat netral dalam kontestasi tersebut, namun pedagogik kritis mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan.  Dalam kaitan ini, pedagogik kritis adalah pedagogik transformatif yang bertujuan untuk mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan (Tilaar, 2005).

Maka,  mengacu pada pedagogik kritis,  sasaran dari pendidikan ataupun pembelajaran HAM adalah pada transformasi sosial baik pada level individu maupun kelompok.  Transformasi disini mencakup perubahan dalam aspek (1) pengetahuan (knowledge) (2) ketrampilan (skill) (3) sikap (attitude) (4) perspektif (perspective) dan (5) kesadaran diri (self awareness).

Kemudian, dalam suatu pendidikan/ pembelajaran HAM, nilai dan prinsip dasar yang mendasarinya antara lain : persamaan (equality), keadilan (justice), kemerdekaan (freedom), martabat manusia (dignity), universalitas (universality) , inalienability (tak dapat dikecualikan), indivisibility (tak dapat dipisahkan) dan non diskriminasi (non-discriminative).

 

Pendidikan HAM dalam Multikulturalisme Indonesia

Indonesia yang majemuk adalah sebuah aset sosial budaya yang tak ternilai harganya.  Dimana lagi di dunia ada negara kepulauan yang sarat dengan pluralisme namun tetap terbingkai dalam wadah negara kesatuan.  Namun demikian,  pada sisi lain pengalaman sejarah menunjukkan bahwa kebhinekaan terkadang malah menimbulkan konflik.  Konflik multikultur berlatar rasial, etnis, ekonomi, agama, sosial, dan politik sarat terjadi di Indonesia. Terutama dalam sepuluh tahun terakhir.

Konflik multikultur secara nyata telah mencederai nilai-nilai keadilan, kemerdekaan, persamaan, martabat, dan hak untuk hidup bebas dari diskriminasi. Iklim yang muncul kemudian adalah syak wasangka, curiga mencurigai, ketidakpercayaan, kemarahan dan kekecewaan yang semuanya amat tidak sehat untuk bangsa yang baru pulih dari derita politik berkepanjangan ini

Maka,  pendidikan HAM dan pendidikan multikulturalisme,  kalau ini bisa disebut dalam satu napas,  adalah satu kebutuhan mendasar bangsa ini.  Karena, hidup dalam masyarakat majemuk adalah teramat penting untuk memiliki kesadaran akan : keragaman, kesetaraan, kemanusiaan, keadilan, dan nilai-nilai demokrasi. Secara lebih konkrit, penanaman kesadaran multikultural tersebut disasarkan pada antara lain : toleransi dalam beragama, memahami keragaman bahasa, membangun sikap sensitif jender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status sosial, membangun sikap anti diskriminasi etnis dan rasial, menghargai perbedaan kemampuan fisik, dan menghargai perbedaan usia (Ainul Yaqin, 2005).

 

Catatan Akhir

Diterbitkannya buku tentang pendidikan berbasiskan HAM jelas adalah satu upaya positif untuk memajukan HAM di Indonesia.  Namun itu saja tidak cukup. Negeri ini membutuhkan suatu pendekatan pendidikan HAM yang lebih integral, terstruktur, dan transformatif.  Tidak hanya menyentuh ranah kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik.

Pendidikan HAM juga tidak harus dimonopoli pemerintah dengan perangkat Depkehham, Depdiknas, ataupun Komnas HAM-nya, namun juga dapat dikelola oleh individu, masyarakat, bahkan korporasi.

Apalagi,  sebenarnya modal ke arah sana sudah tersedia.  Seperangkat peraturan Perundang-Undangan mulai dari UUD 45 hingga Undang-Undang telah banyak mengatur dan menjamin HAM manusia Indonesia. Kemudian, kendati belum ideal, hadirnya institusi seperti Komnas HAM, Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) adalah langkah maju dalam penegakkan HAM.

Maka, negara dan bangsa Indonesia-pun sudah semestinya lebih menaruh perhatian dan ikhtiar dalam menggesa pendidikan HAM.  Seperti kata Kennedy, manusia akan senantiasa diingat tidak semata-matanya karena karirnya dalam berperang dan berpolitik, namun juga karena kontribusinya dalam membangun semangat kemanusiaan.

 

 

 

 

Read Full Post »

MENGGAGAS KOTA HAK ASASI MANUSIA

By : Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.

Staf Pengajar Fakultas Hukum UI/

Ketua Dewan Pengurus & Advokat pada PAHAM Indonesia

 

Kota adalah tempat tinggal warga manusia yang sudah seharusnya memberikan kenyamanan dan ketenangan hidup bagi penghuninya.  Paling tidak, ini imej yang terbangun dalam benak individu yang mulai menyadari kebutuhannya akan suatu kota. Sayangnya,  tidak banyak kota-kota di Indonesia yang memang aman, nyaman, dan enak ditinggali.

 

Salah satu faktor yang membuat kota menjadi tempat hidup yang nyaman adalah ketika kota tersebut adalah Kota Hak Asasi Manusia (Human Rights City).  Alias, kota tersebut terbangun dan berkembang dalam atmosfir HAM, dalam lingkungan HAM, dan memiliki budaya penghormatan dan penegakkan HAM yang optimal.

 

Untuk mengetahui kota-kota mana di dunia yang dapat menyandang predikat kota HAM, barangkali secara kasar dapat dilihat dari ranking kota-kota terbaik di dunia yang disurvey oleh beberapa lembaga.

 

 

Kota-Kota Terbaik di Dunia

Dalam survey yang diselenggarakan Economist Inteligence Unit (2005),  kota-kota ternikmat untuk ditinggali (world’s best place to live in) sebagian besar terletak di Amerika Utara (Canada & USA), Eropa, dan Australia.  Survey tersebut menggunakan 40 indikator yang berbeda dalam 5  katagori utama, masing-masing stabilitas, perawatan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan dan infrastruktur. Hasilnya,   Vancouver (Canada), Melbourne (Australia), Vienna (Austria), Toronto (Canada), dan Calgary (Canada) ditahbiskan sebagai lima kota terbaik untuk ditinggali di dunia.  Mengapa tiga kota di Canada dapat menempati posisi lima besar? Karena kota-kota tersebut rendah angka kejahatannya,  minim ancaman terorisme-nya, dan memiliki infrastruktur yang sangat lengkap dan maju.

Sementara itu,  Mercer Consulting yang berbasis di New York  melakukan riset yang hampir sama setiap tahunnya.  Analisisnya berdasarkan 39 unsur kualitas hidup semisal politik, sosial, ekonomi, lingkungan, keamanan pibadi, jaminan kesehatan , pendidikan, kemudahan transportasi, dan lain-lain.  Hasilnya,  pada tahun 2005 Mercer menahbiskan Geneva, Zurich, Vancouver, Vienna dan Frankfurt sebagai kota terbaik dunia.

 

Kota terbaik di Asia menurut Mercer Consulting adalah Singapura dan Tokyo, keduanya menempati rangking ke 34.  Kemudian, Jepang adalah Negara Asia terbanyak yang menempatkan lima kotanya pada jajaran Top Fifty, masing-masing Tokyo, Yokohama, Kobe, Osaka, dan Tsukuba.

 

Sebaliknya, kota terburuk dunia, masih menurut Mercer Consulting adalah Baghdad (Irak), Abidjan (Ivory Coast),  Lagos dan Port Harcourt (Nigeria), dan Bangui (Central African Republic).  Parameter yang digunakan untuk kota-kota terburuk adalah tingginya angka kriminalitas, rendahnya jaminan keamanan dan keselamatan pribadi, ketidakstabilan politik, maraknya konflik sipil, dan lemahnya penegakkan hukum (law enforcement).

 

 

Kota-Kota di Indonesia

Bagaimana dengan kota-kota Indonesia?  Tak satupun kota-kota Indonesia yang masuk dalam kategori kota terbaik ataupun kota yang nyaman ditinggali.  Walau, tak juga kota-kota tersebut masuk dalam kategori terburuk. Buruk mungkin iya, namun tidak terburuk.

 

Sebutlah Jakarta,  Jakarta kini semakin berbenah diri dengan kemudahan transportasi (bus way, rencana monorail, dll), namun pada bidang lain seperti keamanan, keselamatan, angka kriminalitas, jaminan kesehatan, dan lain-lain, sulit menyebut Jakarta sebagai kota yang nyaman ditinggali.  Kendati, telah berulangkaliJakarta meneguhkan motto-nya sebagai kota BMW (Bersih Manusiawi Wibawa) ataupun Teguh Beriman (Bersih Indah Manusiawi).

 

Warga Jakarta kini tetap takut keluar malam, warga perempuan apalagi perempuan keturunan masih trauma jalan sendirian, penumpang kereta masih bisa naik atap gerbong kereta, pengemis dan anak jalanan masih banyak berkeliaran di perempatan jalan. Ketika wabah melanda, apakah flu burung, demam berdarah, ataupun leptospirosis, warga miskin masih kesulitan mengakses layanan kesehatan cuma-cuma, kendati jaminan kesehatannya telah tersedia.  Larangan merokok di tempat umum masih diabaikan. Hak penyandang cacat dalam mengakses fasilitas publik belum diakomodir.  Juga hak ibu-ibu hamil/menyusui, anak-anak, dan orang dewasa, belum banyak diakomodir.  Lebih mudah menemukan tempat khusus untuk para perokok di Jakarta daripada tempat khusus untuk Ibu-Ibu menyusui (breastfeeding).

 

Dan, Jakarta tidak sendiri. Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, dan kota-kota besar lainnya juga tidak lebih baik. Kendati beberapa kota sering mendapat penghargaan adipura untuk kebersihan,  namun tidak otomatis kualitas hidup di kotatersebut juga baik (dan bersih).

 

 

Kota HAM Kota Ternikmat Ditinggali

Walau sedikit mengandung bias negara barat (western-biased)  pemilihan kota-kota terbaik di atas tidak terlalu salah.  Penulis telah membuktikannya dengan mengunjungi beberapa kota tersebut.  Juga, terlepas bahwa Toronto, Auckland, Tokyo, Frankfurt, dan Brussels memang kota-kota berteknologi maju, kota-kota tersebut juga memang aman, bersih, manusiawi, dan ramah bagi  semua kategori penduduk (people-friendly).  Mereka yang tuna netra, pengguna kursi roda, orang tua, perempuan hamil, warga miskin, hingga anak-anak terlantar dapat mengakses fasilitas publik dan mendapatkan haknya secara sama dengan orang-orang berkategori ‘normal.’

 

Dengan lain perkataan, salah satu ciri kota terbaik adalah kota tersebut amat menjunjung tinggi HAM warga kota-nya dan siapapun yang berkunjung ke kotatersebut.  Budaya persamaan, penghargaan terhadap martabat manusia apapun statusnya,  menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan gender, hingga sikap non diskriminatif adalah wajah keseharian yang hadir ataupun berupaya dihadirkan dikota HAM.

 

 

 

Model Kota HAM

Satu dari sedikit lembaga yang mempopulerkan konsep kota HAM adalah  People Movement for Human Rights Education (PDHRE), suatu NGO yang bermarkas diNew York.  Lembaga ini telah menggagas konsep human rights cities nyaris satu dekade terakhir dan telah turut membidani lahirnya sejumlah kota HAM di seluruh penjuru dunia.  Dalam definisi PDHRE, kota HAM adalah : sebuah kota dimana seluruh penghuninya, apakah berstatus pembuat kebijakan ataupun warga kotabiasa, mempelajari dan melekatkan dirinya pada kewajiban-kewajiban HAM. Mereka mengimplementasikan norma-norma HAM internasional secara integral untuk kebutuhan praktis di level mereka.  Dalam kota HAM, semua organisasi, apakah publik maupun privat, bersama-sama bekerja untuk memonitor pelanggaran HAM termasuk memantau pelaksanaan HAM pada semua tingkatan masyarakat.

 

Masih menurut PDHRE, dalam kota HAM, semua penghuni kota mesti mengembangkan suatu metodologi untuk menjamin bahwa semua kebijakan, hukum, keputusan publik, alokasi sumber daya, dan hubungan-hubungan sosial politis dalam semua level adalah sesuai dengan norma-norma dan standar-standar HAM yang berlaku.  Penghuni kota-pun meyakini bahwa  HAM adalah satu pedoman utama bagi masyarakat dalam membangun rencana-rencana masa depannya.

 

Untuk meretas jalan ke arah kota HAM, PDHRE (2005) menggariskan bahwa terlebih dahulu HAM haruslah (1) diketahui (2) dipelajari (3) diterima dan dihargai (4) dilaksanakan (5) diorganisir (6) dimonitor; dan akhirnya (7) berpartisipasi dan menggerakkan perubahan.

 

Kemudian, partisipasi warga kota dalam kota HAM diharapkan dapat mengarah pada pembelajaran dan adaptasi HAM sebagai salah satu cara hidup yang integral dengan perencanaan kota. Untuk itu, terlebih dahulu warga kota mestilah mengetahui dan dapat mengklaim hak-haknya, mengerti kewajiban dan tanggungjawabnya,  dan akhirnya mereka semua bekerja bersama untuk transformasi sosial dan ekonomi.

 

Secara structural, pilar-pilar penegak kota HAM adalah (1) hukum (2) kebijakan (3) sumberdaya dan (4) hubungan-hubungan sosial.  Keempatnya diharapkan dapat menjadi infrastruktur bagi terciptanya pencegahan konflik, lahirnya keamanan manusia (human security), demokrasi yang partisipatif dan terciptanya good governance dan pembangunan berkelanjutan.

 

 

Catatan Akhir

Kota HAM adalah salah satu alternatif bagi warga kota yang mengangankan dan menginginkan lahirnya kota yang lebih aman dan nyaman ditinggali.  Gagasan ke arah itu, kendati tidak berjudul ‘kota HAM’ sebenarnya telah digagas banyak kota diIndonesia.  Lahirnya sejumlah motto kota seperti BWM, Teguh Beriman, Atlas, Berhiber, dan lain-lain,  paling tidak menyiratkan keinginan ke arah itu.   Masalahnya, upaya menciptakan kota HAM tak cukup bila bersifat parsial dan hanya terpaku pada inisiatif pemerintah saja.  Mesti ada inisiatif lokal, akar rumput, ataupun dari korporasi yang semuanya sama-sama bekerja untuk menciptakan kota sebagai tempat tinggal bersama yang benar-benar melindungi HAM warga kotanya. Kota-kota di Indonesiamemiliki potensi untuk dikembangkan ke arah kota HAM.  Namun,  sudahkah kita berfikir ke  arah sana?

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »